Artikel ini sebagai kelanjutan dari pembahasan tentang penkawinan dalam Gereja Katolik. Kali ini akan diulas mengenai perjanjian dalam perkawinan. Hukum Gereja menggunakan dua istilah untuk mendeskripsikan aspek perjanjian dari perkawinan, yaitu foedus (covenant) dan contractus (contract).Â
Kedua istilah tersebut sama-sama bisa diterjemakan dengan perjanjian, namun masing-masing memiliki arti dan kekayaan nuansa yang khas. Di antara kedua gagasan tersebut yang paling tua dalam tradisi kanonik adalah gagasan perkawinan sebagai kontrak.Â
Menurut sejarah doktrinalnya, sejak abad ke-9 perkawinan sudah biasa disebut kontrak. Paus Alexander III (seorang pakar hukum gereja) memakai istilah "kontrak". Kontrak adalah consensus atau kesepakatan di mana dua orang atau lebih membuat perjanjian tentang sesuatu.Â
Perkawinan adalah kontrak karena terdiri dari suatu consensus, di mana dua orang (laki dan wanita), yang layak saling berjanji untuk hidup bersama-sama, saling membantu dan mengadakan keturunan. Namun Konsili Vatikan II tidak memakai lagi istilah kontrak, meskipun 190 patres konsili menganjurkan pemakaiannya lagi.Â
Istilah "kontrak" kurang tepat karena berbau yuridis dan legalistis, kurang memperlihatkan perkawinan sebagai persekutuan cinta dan terlalu menekankan hak dan kewajiban. Konsili menggunakan istilah yang baru yakni perjanjian atau "foedus". Istilah "foedus" dianggap lebih tepat untuk mengungkapkan bahwa perkawinan merupakan gambar dari partisipasi dalam perjanjian Allah dengan umat-Nya dan hubungan mesra antara Kristus dan Gereja.Â
Perjanjian itu juga meliputi hak dan kewajiban, tetapi wujud dari hak dan kewajiban itu timbul dari cinta kasih dan menunjukkan diri dalam penyerahan total kepada partner tercinta.
Kata foedus digunakan pertama kali dalam kanon 1055, 1 untuk mendeskripsikan hakikat perkawinan. Dalam kanon itu dikatakan bahwa: "Dengan perjanjian (foedus), perkawinan pria dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan seumur hidup,...".Â
Dengan ini menjadi jelas bahwa perjanjian kedua mempelai adalah unsur konstitutif perkawinan. Dengan pertukaran kesepakatan perkawinan (consensus) lahirlah persekutuan hidup yang bersifat tetap antara seorang pria dan seorang wanita.Â
Oleh karena itu, pria dan wanita yang telah mengambil keputusan untuk melangsungkan perkawinan, harus berjanji dan bersepakat untuk saling memberi dan menerima. Kesepakatan untuk saling memberi dan menerima itu dinyatakan melalui pengungkapan janji perkawinan (foedus) yang sungguh jelas dan tegas di hadapan petugas Gereja dan dua saksi (forma canonica).
Berbeda dengan paham kontrak, perkawinan sebagai suatu perjanjian kasih memuat pengakuan kesamaan spiritual dari dua pribadi dan kesamaan dalam kemampuan mereka untuk saling memberi dan menerima secara utuh satu sama lain.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!