Tulisan ini merupakan sebuah renungan khususnya bagi pasangan suami istri, dalam rangka menyongsong Hari Keluarga, 29 Mei 2022.
Kasih atau cinta merupakan hubungan dinamis antar pribadi yang dapat dihayati pada setiap waktu dan zaman, yang dapat diwujudkan pada segala tempat dan ruang. Cinta itu ada di dalam hati setiap insan: ada di dalam setiap pribadi. Cinta tidak mengenal tempat dan waktu. Ia dapat menembus zaman, ia dapat mengarungi samudera; ia pun dapat mematahkan kekuatan-kekuatan duniawi. Bahkan cinta merupakan hukum pertama dan terutama dari segala hukum yang ada di muka bumi ini.
Kahlil Gibran, seorang filsuf Lebanon, dengan bijak berujar: "Salahkah orang yang mengira bahwa cinta itu datang karena pergaulan yang lama dan rayuan yang terus menerus. Cinta adalah tunas pesona jiwa. Jika tunas itu tak tercipta dalam sesaat, ia tak akan tercipta bertahun-tahun atau bahkan dari generasi ke generasi".
Baca juga: Kata-Kata Tanpa Kata
Pada zaman ini, kenyataan tak dapat disangkal, banyak orang bahkan banyak keluarga memperjualbelikan "cinta". Cinta hanya seharga rayuan kata-kata: "saya cinta engkau", yang ditulis pada tembok-tembok kota, pada jalan-jalan kota dan desa, pada sudut-sudut kota.
Cinta hanya seharga secangkir kopi. Cinta hanya sebatas kecantikan dan kegantengan yang cepat hilang seiring perjalanan umur manusia. Karena itu manusia zaman ini coba-coba mempertanyakan hakekat cinta itu dan coba-coba secara sadar atau pun tidak mengguncang hidup perkawinan.
Dalam konsep budaya popular, yang dinomorsatukan adalah "pencitraan", "pendangkalan", "kesan", dan potret artifisial lainnya. Kini kita sedang berada atau bahkan berenang tercampur dalam "budaya populer" tersebut. Manusia seakan tercampur di dalamnya. Perbagai macam tawaran hidup yang menyenangkan mengelilingi manusia dari muka dan belakang, kiri dan kanan. Manusia seakan terjepit tak mampu mengatasinya lagi.
Sementara itu, manusia semakin digerogoti mental hedonisme, mencari kesenangan diri, mental instant, mental menerabas, yang bukan saja ada dalam diri pribadi masing-masing, tetapi juga dalam hidup keluarga. Manusia cenderung tidak sadar dan tidak tahu bahwa mereka sedang dipengaruhi secara sistematis oleh perkembangan itu ke dalam satu pribadi yang demikian.
Cinta mulai diukur, atau dibangkitkan oleh gaya hidup, oleh penampilan lahiriah sesaat, oleh kata-kata muluk. Gaya hidup mulai dipengaruhi oleh apa yang dilihat di Televisi atau tetangga sebelah. Karena itu, posisi manusia saat ini, berada antara harapan dan kecemasan, senyum dan menangis, suka dan duka. Bahkan Tuhan, hampir saja dilupakan dalam kehidupan.
Apakah orang mulai bosan dengan "cinta" sebagai dasar perkawinan? Gugatan terhadap cinta mulai muncul kalau para isteri dalam hidup rumah tangga setiap hari hanya mau menghias diri dengan memakai perhiasan dan pakaian yang mahal-mahal dan indah-indah, tanpa memperhatikan kemampuan ekonomi suami, dan lupa tugas pokok mengamalkan cinta dalam keluarga, lupa kepada sumber cinta; lupa menghias batin dengan perhiasan-perhiasan surgawi; lupa menaruh harapan pada Allah dan tidak tunduk pada suami; hidup menurut arus zaman.