Pada tulisan kali ini, saya ingin sharing pengalaman saya menjadi seorang formator (pendamping) di sebuah lembaga pendidikan non-formal, dalam kaitan dengan penggunaan perpustakaan sebagai media literasi bagi para formandi (peserta didik).Â
Pada penjelasan selanjutnya saya akan menggunakan kata "formandi" sebagai istilah yang digunakan di lembaga ini.Â
Istilah ini dalam pengertian umum dapat diartikan sebagai peserta didik, siswa, murid atau istilah sejenisnya.Â
Sebagai sebuah lembaga pendidikan, maka para formandi juga diasah untuk memiliki kemampuan berliterasi.Â
Dalam hal ini saya terinspirasi dengan pendapat Elizabeth Sulzby, seorang profesor pendidikan di University of Michigan yang terkenal karena karya perintisnya dalam literasi emergent.Â
Sulzby mendefinisikan literasi sebagai kemampuan berbahasa yang dimiliki seseorang dalam berkomunikasi "membaca, berbicara, menyimak dan menulis".Â
Empat hal inilah yang ingin saya terapkan dalam mengembangkan budaya literasi bagi para formandi dengan memanfaatkan perpustakaan yang ada (sekalipun perpustakaannya sangat sederhana).Â
Berikut ini beberapa hal yang telah dipraktikkan untuk membentuk budaya literasi tersebut:
1. Jam baca
Di antara banyak jadwal yang ada dalam acara harian, ada waktu khusus yang dijadwalkan sebagai jam baca.Â
Pada jam baca yang berdurasi 1,5 jam tiap harinya, para formandi diwajibkan untuk membaca di perpustakaan dan tidak boleh mengerjakan tugas lainnya selain membaca.Â