Sejak ditetapkannya persyatan tersebut, hingga saat ini kebijakan untuk mewajibkan publikasi penelitian melalui jurnal internasional terindeks skopus, menuai pro dan kontra.Â
Secara hukum, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dinilai tidak secara khusus merujuk pada indeks Scopus.
Kewajiban mempublikasikan artikel di jurnal internasional bereputasi Scopus menimbulkan banyak keresahan di kalangan dosen dan mahasiswa program doktoral.Â
Hal ini selain karena rumitnya memenuhi persyaratan untuk bisa accepted, tetapi juga harus mengelurkan banyak biaya hingga akhirnya artikel mereka dipublikasikan di jurnal dengan indeks Scopus.Â
Lebih dari itu, desain pendidikan Nasional kita saat ini seakan terjebak pada mengejar peringkat semata. Siswa dan mahasiswa seakan dipaksa untuk memiliki prestasi akademik yang tinggi sehingga mengabaikan faktor penting lainnya seperti pembentukan karakter dan spiritual.Â
Guru-guru sibuk mengurus laporan administrasi untuk sertifikasi dan melupakan esensi pendidikan itu sendiri. Siswa kurang diperhatikan, karena guru sibuk mengejar kenaikan panggkat.Â
Dosen-dosen pusing berusaha agar artikelnya "tembus" di jurnal Scopus. Mahasiswa diabaikan, yang penting persyaratan untuk kenaikan pangkat atau gelar pengukuhan guru besar bisa terpenuhi karena karyanya sudah dipublikasikan di jurnal Scopus.
Pertanyaannya, apakah itu yang kita kejar dalam sistem pendidikan kita? Bukankah Ki Hajar Dewantara telah mendesain Perguruan Taman Siswa sebagai antitesa terhadap sistem pendidikan kolonial yang lebih mengutamakan intelektualitas, individualitas, dan materialitas?Â
Bukankah dengan adanya keresahan dari para dosen dan mahasiswa tentang tuntutan jurnal Scopus, menjadi salah satu bukti bahwa pendidikan (Kampus) kita belum merdeka?Â
Dengan mempertimbangkan kembali kebijakan persayaratan jurnal Scopus, tidak berarti bahwa perguruan tinggi di Indonesia mengabaikan kriteria akademis yang berkualitas dan berdaya saing secara global.