Â
Pagi masih subuh,
bersama waktunya saur
kau bangun mengupas kelopak zaman.
Manik-manik kau rangkai jadi sederetan abjad,
lalu kau ketik pada debar jantung dunia.
Katamu ini zaman digital.
Pada rekat sukma hatimu,
kau lukiskan dengan jemarimu,
jadi tuan tuaianmu.
Kamar jadi puri perusak peradaban,
Sedangkan rumah ibadat sesungguhnya
malah jadi tempat tidur kedua.
Siang kau melangkah jauh,
menyingkir dan terus menjaga jarak,
mencoba untuk menghindar
menyembunyikan tabiat yang tak tahan cahaya.
Kadang mencoba mendekat dan merapat,
agar gampang kelihatan silau.
Pada letih lesu malam kehidupanmu,
kau luruh dalam pasuh laknat gelapmu.
Bibir jiwamu disanjung kepulan,
Menemani gadangmu dalam peraduan maksiat.
Katamu ini teather peradaban.
Sampai kapan pentas ini berakhir?
Aku ingin masuk dalam dramamu,
dan pasti kau kategorikan aku dalam peran antagonis
yang lakonnya banyak dibenci,
baik dirimu maupun para penonton yang larut dalam drama ini.
Namun aku ingin segera mengakhiri episode ini
dengan happy ending
bukan untuk kepentinganku,
tapi untuk banyak pihak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H