4. Legilisator Turunan
      Belis mempunyai arti "woter 'loen" atau beli fam. 'Loen atau fam, merupakan sesuatu yang sangat penting dalam sebuah struktur masyarakat adat Maumere.  Fam inilah yang akan menentukan garis keturunan seseorang dan juga cukup berpengaruh dalam urusan pembelisan. Apabila seorang suami telah membelisi istrinya, maka istri yang pada awalnya termasuk dalam fam keluarga wanita akan masuk dalam fam keluarga suami. Demikian pula apabila mereka memiliki anak, maka anak-anak tersebut akan menjadi bagian atau termasuk dalam keturunan atau fam keluarga pria. Dengan kata lain, sang suami belum memiliki hak penuh atas anak-anak mereka. Jadi kelak apabila keluarga baru itu memiliki keturunan, maka anak itu akan dibagikan juga kepada ina ama dengan jumlah idealnya seorang putra dan seorang putri. Sedangkan yang lainnya akan menjadi milik me pu (keluarga pria).
5. Ungkapan Simbolis dari Suami untuk Memperoleh Hak Seksual pada Istri
      Seorang pemuda yang melamar calon istrinya tentu sudah diyakini telah memiliki kematangan atau kedewasaan di dalam dirinya termasuk kematangan biologis. Dan secara kodrati seseorang yang memiliki kematangan biologis juga memiliki dorongan seksual yang harus dipenuhi. Memilih seorang untuk menjadi pasangan hidup,  secara implisit merupakan salah satu bentuk pemenuhan hasrat seksual itu, walaupun bukan menjadi tujuan utama dalam suatu perkawinan.
Hak seksual atas istri, harus diperoleh melalui proses pembelisan yang diawali dengan peminangan di mana dengan membawa wua (pinang) sebagai simbol seksual wanita, untuk bertemu dengan ta'a (sirih) sebagai simbol seksual pria, demi memperoleh keturunan atau anak. Sebelum melakukan pembelisan maka seorang suami belum secara sah mengawini istrinya. Namun apabila pemuda tersebut telah melakukan pembelisan, maka ia telah memiliki hak penuh atas istrinya termasuk untuk memperoleh hak seksual.
6. Lambang Pengorbanan dan Pendewasaan Cinta
      Soal pembayaran belis dan pengabdian pemuda selama masa pertunangan, pasti membutuhkan satu pengorbanan. Memang tidak mudah untuk mempersunting anak orang tanpa suatu pengorbanan. Pengorbanan ini memperlihatkan suatu kedewasaan cinta, cinta yang tidak bisa hilang atau gagal karena hal yang sepele, karena tuntutan belis.
Belis sebagai lambang pengorbanan cinta, dalam bahasa adat dapat diungkapkan dengan kalimat "megu nulu, gu ngawun depo" (cinta lebih dulu, baru barang menyusul). Artinya bahwa nilai humanitas manusia lebih diutamakan meskipun barang material bernilai juga. Barang material dalam pembelisan merupakan ungkapan simbolis martabat manusia. Yang menjadi motif utama adalah cinta yang terwujud dalam bentuk barang.
Dengan belis, si gadis tidak mendewakan dirinya di hadapan si pria melainkan menghargainya, sebab pengorbanan cinta si pria bersama keluarganya sungguh besar yang diwujudkan dalam barang material. Demikian pun sebaliknya si pemuda tidak boleh menjadikan si gadis sebagai budak belian, sebab si pemuda memperoleh hak untuk memperistri si gadis itu tidak hanya membayar barang materialnya semata-mata, tetapi juga dengan imbalan material dari keluarga wanita, sebagai bakti ketulusan cinta mereka.
7. Norma Adat
      Hal ini diungkapkan dengan istilah adat yakni "tena blau ha nora ha" (supaya ada ketakutan atau keseganan antara yang satu dengan yang lainnya). Takut di sini bukan dalam pengertian pengecut atau turut membabi buta, tetapi lebih dimengerti dalam arti saling menghargai antara pribadi. Jadi, belis juga mengandung unsur moral. Dengan adanya belis maka masyarakat akan saling menghormati, teristimewa kaum wanita yang selalu dianggap sebagai kaum lemah. Belis sebagai sebuah norma berarti harus dijalankan dan dipatuhi oleh semua anggota masyarakat.