Mohon tunggu...
Hendrikus Dasrimin
Hendrikus Dasrimin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Kunjungi pula artikel saya di: (1) Kumpulan artikel ilmiah Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?user=aEd4_5kAAAAJ&hl=id (2) ResearchGate: https://www.researchgate.net/profile/Henderikus-Dasrimin (3)Blog Pendidikan: https://pedagogi-andragogi-pendidikan.blogspot.com/ (4) The Columnist: https://thecolumnist.id/penulis/dasrimin

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Otoritas Politik Vs Demokrasi Deliberatif (Menilik Pemikiran Etika Diskursus Jurgen Habermas)

19 Maret 2022   19:09 Diperbarui: 31 Agustus 2022   20:34 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diskusi Kelompok (Dokpri)

Penentuan dan pengesahan undang-undang yang menjadi basis kehidupan negara merupakan salah satu wujud atau bentuk konkretisasi kebijakan politik. Namun seringkali terjadi bahwa kebijakan yang dirancang, dihasilkan, maupun yang telah disahkan dapat menimbulkan pelbagai macam kontroversi dan perdebatan. Faktor penyebabnya antar lain adalah opini masyarakat yang menempati salah satu bagian dari ruang publik tidak didengar oleh pemerintah. Pemerintah bertindak sewenang-wenang sebagai penguasa yang tidak menghiraukan aspirasi dan keinginan rakyat. Padahal negara kita adalah negara demokrasi. Tindakan sewenang-wenang dalam menghasilkan sebuah aturan atau undang-undang, secara jelas membuktikan bahwa pemerintah bersifat otoriter. Sikap otoriter harus dihindarkan dalam pelbagai pengambilan keputusan (decision-making). Sikap ini harus dijauhkan, dimusnakan dan dilenyapkan dari dunia kehidupan kita, dunia demokrasi.

Beberapa catatan merah sejarah bangsa ini telah menunjukkan betapa kekuasaan komunikatif tidak mendapat tempatnya dalam ranah perpolitikan. Baru sejak zaman reformasi kekuasaan komunikatif, meskipun samar-samar, mulai mendapat tempatnya dalam dunia perpolitikan. Menghadapi persoalan seperti ini, Jrgen Habermas (seorang filsul), menawarkan konsep demokrasi deliberatif mengenai tindakan komunikatif yang dapat digunakan sebagai salah satu alternatif atau jalan keluar dari keterbelengguan ini.

           Konsep Habermas mengenai tindakan komunikatif yang dibangun dalam kerangka rasionalitas komunikatif bertujuan untuk mengubah paradigama dominatif yang dalam tradisi filsafat kesadaran sering diutamakan. Paradigma dominatif diubah dengan paradigma komunikatif di mana di dalamnya terjadi saling pengertian antara partner komunikasi, sehingga masyarakat yang dibentuk adalah masyarakat yang komunikatif, bebas dari dominasi. Kerangka berpikir Haberrmas seperti ini dapat menjadi sebuah referensi yang bernilai bagi pembangunan masyarakat terutama dalam bidang sosial-politik dan ekonomi.

           Praktek dominasi kekuasaan yang dijalankan dalam kehidupan politik masyarakat dewasa ini, terutama dalam masyarakat yang disebutnya masyarakat kapitalisme lanjut, mencerminkan penggunaan rasionalitas sasaran. Menurut Habermas, rasionalitas seperti ini mesti diganti dengan rasionalitas komunikatif yang memperhatikan aspek komunikasi dalam masyarakat. Habermas beranggapan bahwa, kekuasaan tidak semestinya hanya dilegitimasikan, melainkan juga dirasionalisasikan. Kekuasaan harus dicerahi dengan diskusi rasional yang bersifat publik agar para anggota masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam menentukan perkembangan politis, termasuk mengarahkan kemajuan teknis masyarakat.

            Sebagai langkah lanjut dari teori tindakan komunikatifnya, Habermas juga menawarkan sebuah konsepsi etika yang dikenal sebagai etika diskursus. Perlu dipahami bahwa, etika diskursus bukanlah suatu pendekatan etika yang menawarkan suatu konsep moralitas yang seharusnya berlaku dalam masyarakat, melainkan hanyalah sebuah metode untuk mengukur keabsahan sebuah norma moral. Dalam karyanya "Faktizitas Und Geltung" Habermas menerapkan etika diskursus dalam ranah politik. Etika diskursus berhubungan erat dengan penentuan kebijakan politik terutama dalam kaitannya dengan penentuan hukum dan undang-undang. Di sini sistem politik demokrasi perlu dikedepankan karena dalam sistem demokrasi, unsur musyawarah-mufakat sangat penting sebagai simbol kedaulatan rakyat. Akan tetapi Habermas sendiri kemudian mengeritik praktik demokrasi formal yang cenderung mengabaikan aspek komunikasi. Habermas kemudian mengembangkan suatu sistem demokrasi yang dinamakannya demokrasi deliberatif.

Demokrasi deleberatif adalah demokrasi di mana legitimasi hukum dapat tercapai karena hukum lahir dari diskursus-diskursus dalam masyarakat sipil. Segala sistem kehidupan apapun, termasuk proyek atau segala rencana sebaiknya dijalankan lewat proses deliberasi yang wajar. Dominasi rasionalitas instrumental yang terungkap dalam uang dan kekuasaan birokrasi adalah patologi masyarakat yang menghancurkan dunia kehidupan. Dalam menentukan kebijakan-kebijakannya, pemerintah harus juga memperhatikan apa yang menjadi cara pandang rakyatnya.

Penekanan pada dominasi kekuasaan sistem akan mambawa dampak bagi penolakan kebijakan pemerintah dan akhirnya berimbas pada ketikpecayaan rakyat terhadap pemerintahnya sendiri. Sebagai bangsa yang majemuk, sudah seharusnya penentuan kebijakan politik mesti menaruh perhatian besar bagi partisipasi rakyat di dalamnya. Pelaksanaan kekuasaan yang dijalankan dalam konteks ini adalah kekuasaan komunikatif di mana ada kerja sama atas dasar saling pengertian antara pemerintah dan rakyatnya.  

Persoalan seringkali muncul manakala salah satu pihak salah menafsirkan apa yang dimaksudkan dengan kekuasaan komunikatif. Di satu pihak bila pemerintah tidak merespon tanggapan-tanggapan dari warganya tentang suatu kebijakan politik, dengan sendirinya diskursus sebagai bentuk pelaksaan kekuasaan komunikatif tidak berjalan. Di lain pihak, bila warga yang diberi hak untuk menjalankan kekuasaan komunikatifnya menggunakan cara-cara anarkis untuk menyatakan argumen dan pendapatnya, kekuasaan komunikatif pun tidak berjalan karena hal tersebut melanggar apa yang merupakan prinsip dasar tindakan komunikatif yaitu prinsip resiproksitas dan egalitas; ketimbalbalikan dan kesamaan semua pihak yang terlibat dalam komunikasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun