[caption caption="Butet Kartaredjasa (JIBI Photo)"][/caption]Hari ini saya mencoba membuat surat terbuka kepadamu, Bung Butèt Kartaredjasa. Memang sedikit kelu lidah ini, jika saya harus memanggil Bung di saat sudah populer panggilan Bapak dan Ibu. Bahkan Yang Mulia. Tetapi tak apalah, saya hanya rindu akan masa-masa merebut kemerdekaan dulu. Panggilan akrab bangsa Indonesia baik sesama sipil maupun militer. Bung!
Bung Butet, Anda adalah seorang seniman atau budayawan. Anda samalah dengan apa yang dikatakan almarhum WS Rendra bahwa seorang seniman berumah di angin. Harus bebas dari ikatan bathin sehingga bisa konsekuen menurut keyakinan intelektualnya. Profesi yang sama dengan Bung adalah cendekiawan. Kedua profesi ini tidak mau terikat oleh suatu sistem yang menghalangi kebebasannya. Salah seorangnya adalah Anda.
Ciri yang kelihatan keluar dari mulut seorang seniman atau cendekiawan adalah kejujurannya. Bung telah melakukannya, ketika berbicara tentang PT Freeport. Dalam video Bung yang sudah beredar ke mana-mana, Bung mencoba menjelaskan kebenaran yang Bung lihat sendiri di sana. Memang semua orang akan terkaget-kaget jika hanya melihat video itu saja tanpa melihat latar belakang kenapa Bung harus pergi ke PT. Freeport. Apalagi suasananya masih panas dengan kejadian baru-baru ini yang bersinggungan dengan PT. Freeport.
Setelah saya membolak-balik dan mencari latar belakang mengapa Bung Butet berbicara tentang PT. Freeport, itu dikarenakan Bung yang meminta sendiri berkaitan dengan acara yang akan ditampilkan. Menurut sumber, masalah ini bermula pada Maret 2015, saat Bung bersama Djaduk Ferianto dan Agus Noor mementaskan lakon Papua berjudul Tabib dari Timur untuk Indonesia Kita di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Freeport yang turut membantu pementasan itu hadir. Di sana, Bung berkenalan dengan Direktur Utama Freeport Indonesia kala itu, Maroef Sjamsoeddin.
Maroef, ujar Bung, saat itu menyatakan gagasan membuat pentas bertema "Papua untuk Indonesia dan Indonesia untuk Papua". Kemudian Bung dan kawan-kawan pun diminta mengurus aspek seninya. Jawaban Bung, konsep itu bisa saja dikembangkan. Tapi Bung perlu tahu dulu bagaimana Papua, termasuk Freeport. "Saya kan awalnya apriori juga sama Freeport," ujar Bung. Untuk ini, saya sependapat dengan Bung. Setiap gagasan yang akan kita lakukan harus turun ke lapangan. Minimal kegiatan yang dilakukan mendekati 100 persen sempurna. Lebih-lebih buat penonton, maka ia akan puas dengan apa yang kita tampilkan.
Kemudian Bung menjelaskan, seusai pembicaraan itu, kesempatan berkunjung ke Papua baru tiba pada Desember 2015. Kebetulan Bung bersama Djaduk Ferianto dan Agus Noor juga harus mencari seniman Papua untuk pentas Jazz Gunung di Bromo pada Agustus 2016. "Saat itulah kami diajak melihat lokasi tambang mereka," kata Bung.
Bung Butet menurut informasi yang saya kumpulkan itu, lalu diajak berkeliling area tambang. Penjelajahan dilakukan dari atas Grasberg sampai masuk ke bawah tanah. Dari Tembaga Pura, Bung dan kawan-kawan diajak ke Timika, tempat fasilitas pengolahan limbah tambang Freeport.
Di sana, Bung melihat bagaimana tanah Grasberg yang berada di ketinggian di atas 4.000 meter bisa ditumbuhi rumput bisa diolah hingga menjadi lebih produktif. Di tempat itu, ucap Bung, ada hamparan tanah bekas tambang seluas 230 hektare yang sudah subur dan ditumbuhi aneka pepohonan. "Saya heran, gumun," ujar Bung.
Bung menjelaskan, keheranan itu kemudian direkam sebagai video testimoni lalu ditayangkan Freeport. Banyaknya komentar negatif, ucap Bung, membuat Freeport menarik video itu dari channel YouTube mereka. "Freeport sendiri jadi pakewuh sama saya," kata Bung.
Jadi menurut saya, ada latar belakang mengapa Bung harus ke Papua. Pun yang Bung katakan adalah obyektif di lapangan. Mungkin karena masalah Freeport sempat hangat baru-baru ini, juga tanpa melihat latar belakang Bung ke Papua, hanya... sekali lagi hanya...melihat video berdurasi pendek tersebut, seakan-akan Bung diundang ke Freeport tanpa kaitan dengan acara yang akan Bung lakukan. Secara pribadi Bung sudah benar. Obyektif sebagai seorang yang jujur memaparkan informasi.
Contoh ini mirip dengan sejarah Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Hampir semua buku-buku sejarah mengatakan, PRRI itu pemberontak. Saya tidak mengatakan demikian. Kenapa? Karena saya sudah dua kali bertemu Pemimpin PRRI Ahmad Husein di Jakarta (sekarang sudah meninggal dunia). Waktu bertemu dengan saya, ia sudah sakit-sakitan dan duduk di kursi roda. Ia mengatakan kepada saya, bahwa dirinya bukanlah pemberontak. Ini yang saya pegang, bahwa PRRI itu bukan pemberontak. Gerakan itu hanya ingin mengingatkan Bung Karno agar tidak terlalu dekat dengan PKI setelah berpisahnya Bung Karno dan Bung Hatta.