[caption caption="Buku Pedang Sang "][/caption]
Hari ini, Jumat, 8 Februari 2019, saya dikirimi sebuah video tentang situasi di Irak yang masih ada sisa-sisa gerilyawan Negara Islam di Irak (ISI). Kemudian meluas ke Suriah menjadi ISIS.
Beberapa bulan yang lalu, saya membaca sebuah buku berjudul Pedang Sang Kalifah, ISIS dan Ancaman Radikalisasi dalam Perang Saudara di Suriah dan Irak , ditulis oleh Nino Oktorino dan diterbitkan oleh PT.Elex Media Komputindo tahun 2015. Buku ini menarik untuk disimak. Buku ini ingin memperjelas posisi apa yang disebut ISIS (Islamic State of Iraq and al-Sham) di Timur Tengah.
Sebagaimana informasi yang saya baca ketika berkunjung ke Irak, September 2014 lalu, ISIS ini muncul setelah Presiden Irak Saddam Hussein jatuh dan seluruh Irak diduduki oleh Amerika Serikat. Pendudukan Irak dan penyerangan ke Irak oleh Amerika Serikat dan sekutunya Inggris menyebabkan Perdana Menteri Inggris waktu itu, Tony Blair meminta maaf, karena intelijen telah melakukan kesalahan besar, ujar Blair dalam wawancara dengan pembawa acara GPS di CNN Fareed Zakaria, Minggu, 25 Oktober 2015.
Pertanyaan selanjutnya bagaimana sikap George Herbert Walker Bush (sang ayah, yang baru saja meninggal dunia) dan George Walker Bush (sang anak), yang dianggap bertanggung-jawab atas penyerangan itu ? Kelihatannya tidak ada komentar apa pun dan tidak akan mungkin Amerika Serikat meminta maaf. Mudah-mudahan kesimpulan saya ini keliru, mana tahu seminggu ke depan atau sebulan atau juga setahun ke depan, George Walker Bush meminta maaf. Atau oleh warga Amerika Serikat sendiri. Yang jelas, inilah perbedaan yang dapat kita ambil antara Inggris dan Amerika Serikat.
Amerika Serikat terkenal dengan sikap double standard,nya. Dahulu Irak ini termasuk sekutu negara Paman Sam itu. Tetapi setelah Irak masuk ke Kuwait, Amerika Serikat marah. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) lalu memberikan sanksi kepada Irak tanggal 6 Agustus 1990 yang menghendaki agar seluruh negara menghentikan impor dan ekspor barang-barang hasil produksi ke dan dari Irak. Kecuali yang berkaitan dengan kemanusiaan. Rusia (saat itu masih disebut Uni Soviet), yang memiliki hubungan dekat dengan Irak, sehari sebelumnya masih ragu untuk menyetujui keputusan DK-PBB tersebut. Akhirnya Rusia ikut setuju. Hanya Yaman dan Kuba yang abstain waktu itu.
Selain memberikan sanksi ekonomi, wilayah udara Irak pun dipersempit. Pemberlakuan Zona Larangan Terbang sepanjang garis paralel 36 di Utara dan 32 di Selatan Irak membuat Irak semakin terisolir. Hanya Yordania yang bersedia membuka perbatasannya dengan Irak. Inilah satu-satunya jalan darat (karena melalui udara tidak diizikan lagi) ke Irak. Berbagai sanksi ini berlanjut dengan serangan udara pasukan Amerika Serikat, Inggris dan Perancis ke kota Baghdad pada tanggal 17 Januari 1992. Bayangkan, serangan itu dilakukan sebanyak 750 kali.
Saya berkunjung ke Irak pada Desember 1992 atas undangan Pemerintah Irak yang waktu itu sebagai jurnalis harian "Merdeka" pimpinan B.M.Diah (Pemimpin Kelompok Grup Merdeka). Dalam wawancara dengan Menteri Industri dan Perlogaman Irak, Amir al-Saadi diperoleh informasi bahwa serangan tersebut telah memporak porandakan instalasi listrik sehingga lumpuh total. Korban yang berjatuhan dari pihak Irak banyak sekali. Menurut informasi dari mantan Penuntut Umum Amerika Serikat, Ramsey Clark, yang melakukan kunjungan selama pemboman berlangsung, sekitar 125.000 sampai 300.000 penduduk Irak tewas. Apalagi ketika serangan terakhir Amerika Serikat dan sekutunya, yang berhasil menangkap serta menggantung Presiden Irak Saddam Hussein, jumlah yang tewas pun lebih banyak lagi.
Sulit untuk memahami double standar Amerika Serikat. Di sisi yang satu negara itu mengecam tindakan tidak manusiawi Presiden Irak Saddam Hussein waktu itu, tetapi di pihak lain, Amerika Serikatlah membiarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan sanksi ekonomi, sehingga banyak warga Irak yang menderita bahkan meninggal dunia. Amerika Serikat tidak hanya menerapkan double standard kepada Irak, juga kepada Palestina. Seluruh sikap politik ini ditujukan demi kepentingan Israel. Demi mendukung kepentingan Israel secara diam-diam sehingga sistem double standard Amerika Serikat di berbagai kebijakan hubungan dengan negara-negara lain sangat menguntungkan bagi dirinya (Amerika Serikat).
Kembali membahas buku Nino Oktorino ini, pada awal buku tersebut yang dimuat dalam Pendahuluan halaman 7 sangat jelas tergambar bagaimana hanya dengan 1.500 orang ISIS pada akhir Juni 2014 bisa mengalahkan 35.000 prajurit dan polisi Irak. Mereka ini dilatih oleh Amerika Serikat di mana para pelatihnya juga berada di Irak. Di sini mulai terasa kejanggalan-kejanggalan yang terjadi di Irak, sehingga ISIS sangat mudah menguasai wilayah Mosul, ibukota provinsi Ninewah, Irak. Para pengamat mulai mempertanyakan hal ini, apakah keberadaan ISIS didukung oleh sebuah kekuatan?
Sekalipun memiliki ideologi, retorika dan tujuan jangka panjang yang serupa dengan al-Qaeda, bahkan pernah bersekutu, tetapi ISIS yang menyebut dirinya sebagai Daulah Islamiah, berbeda dari kelompok bentukan Osama bin Laden (halaman 8). Sangat jelas dikatakan bahwa ISIS tidak seperti kelompok-kelompok militan lainnya (halaman 9). Jadi buku ini memberi penjelasan bahwa ISIS tidak terlalu suka pada hal kejahatan, dan kekejaman. Pihak ISIS sendiri melarang penggunaan kata itu terhadap dirinya dan menjatuhkan hukuman berat terhadap orang yang berani melanggarnya di wilayah kekuasaan kelompok tersebut..