[caption id="attachment_404874" align="aligncenter" width="283" caption="Desember 1992, saya mewawancarai Menteri Perindustrian Irak, Amir al-Saadi di Baghdad"][/caption]
Buat saya, Desember 1992 dan September 2014, dua peristiwa yang berbeda di satu tempat, Baghdad, Irak sekaligus dua kebijakan luar negeri Indonesia terhadap Irak yang berbeda pula, telah membuka mata saya apa yang tengah terjadi di Negara Seribu Satu Malam itu. Jika saya berkunjung ke Baghdad, Irak tahun 1992, situasi dan kondisi negara itu aman dan saya bisa mewawancarai berbagai pejabat tinggi di negara tersebut, maka lain halnya ketika saya berkunjung pada bulan September 2014.
Pada tahun 2014, saya banyak tinggal di Kedutaan Besar Indonesia di Baghdad. Kalaupun hanya ke luar, hanya ziarah mengunjungi makam Sahabat Nabi Muhammad SAW, Ali r.a dan puteranya Hussein di Karbala serta makam Nabi Ayub a.s. Suasana tidak sebebas saya berkunjung tahun 1992 di mana penjagaan super ketat diterapkan di mana-mana. Karena dalam keadaan perang dan bom mobil sewaktu-waktu terjadi, sebahagian besar waktu saya berada di Kedutaan Besar Indonesia di Baghdad, Irak.
Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Irak juga berbeda. Pada tahun 1992, kebijakan luar negeri Indonesia mengacu kepada pernyataan Menlu Ali Alatas, Senin, 25 Februari 1991 yang menegaskan dan mengingatkan agar Amerika Serikat dan sekutunya jangan mencoba invasi atau menggulingkan pemerintahan Irak yang waktu ini dipimpin Saddam Hussein.
Memang saat ini tidak hanya Menlu RI mendukung Irak, juga bangsa Indonesia melalui Fraksi PDI di DPR RI, Sophan Sophiaan pada 4 Januari 1993 menegaskan, Presiden Irak Saddam Hussein sangat membutuhkan bantuan moral guna menghadapi embargo Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas negaranya, bukan materi.
Diharapkan agar segala bentuk embargo terhadap Irak dicabut. Begitu juga dukungan dari Rachmawati Soekarno, Ketua Umum Yayasan Pendidikan Soekarno hingga ke pengamat di Staf Peneliti Puslitbang Politik dan Kewilayahan LIPI. Ia mengatakan," kebijakan Amerika Serikat terhadap Irak tidak jelas. Negara itu enggan mensponsori pencabutan sanksi dan embargo dari PBB. Saya tidak begitu jelas apa keinginan Amerika Serikat di balik keengganan tersebut," ujar pengamat tersebut kepada saya.
Di samping embargo ekonomi, PBB juga mengeluarkan Resolusi pemberlakuan Zona Larangan Terbang sepanjang garis paralel 36 di Utara dan Selatan Irak, sehingga semua pejabat tinggi negara mana pun harus melalui Jordania, melalui jalan darat ke Irak. Saya juga pada waktu itu melalui jalan darat Jordania-Baghdad. Secara keseluruhan sekitar 885 kilometer yang ditempuh lebih kurang sekitar 13 jam.
Kebijakan Luar Negeri Indonesia berubah ketika Presiden Irak Saddam Hussein digantung.Menteri Luar Negeri RI yang sudah diganti dari Ali Alatas kepada Hassan Wirajuda dengan jelas mengatakan di Mesir ketika berkunjung ke sana 25-27 Juni 2005 bahwa "Sikap Indonesia telah berubah dalam melihat Irak. Isu Irak ketika diinvasi Amerika Serikat pada tahun 2003 berbeda dengan isu Irak pasca Pemilu bulan Januari lalu. Indonesia sangat mendukung proses demokrasi yang terjadi di Irak."
Perubahan kebijakan RI ini melatarbelakangi kunjungan saya ke Baghdad, Irak, September 2014 lalu. Memang banyak yang mempertanyakan, kenapa banyak negera, termasuk Indonesia tidak mendukung invasi Amerika Serikat dan sekutunya ke Irak, tetapi tetap saja invasi itu dilakukan ? Seberapa besar pengaruh Indonesia di dunia internasional sekarang ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H