Harian "Kompas," Senin, 11 November 2019 halaman 3, tentang "Jajak Pendapat Kompas," sangatlah menarik. Diungkap di rubrik " Politik & Hukum," itu tentang media massa berperan penting lewat tentang identitas bangsa. Atau dengan perkataan lain merawat identitas bangsa lewat media.
Ada tiga nama yang saya pilih yang menurut saya menonjol untuk dikemukakan. Pertama, sudah tentu putra atau putri Minangkabau yang terpilih sebagai Pahlawan Nasional 2019, yaitu Rohana Kudus. Kedua, tokoh pers Rosihan Anwar, juga berasal dari Minangkabau (Sumatera Barat) dan Tirto Adhi Soerjo, yang berhasil mengangkat nama Jawa Barat dalam pergerakan nasional melalui pers. Menariknya, Tirto Adhi Soerjo bukan orang Sunda. Ia lahir di Blora (Jawa Tengah).
Kementerian Sosial Republik Indonesia baru-baru ini telah menetapkan Rohana Kudus atau Ruhana Kuddus, jurnalis perempuan pertama asal Sumatera Barat, sebagai Pahlawan Nasional tahun 2019.
Hal ini ditetapkan berdasarkan pertemuan Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan dengan Presiden Joko Widodo pada 6 November 2019 lalu. Ada pula Surat Menteri Sosial Rl nomor :23/MS/A/09/2019 tanggal 9 September 2019 perihal usulan calon Pahlawan Nasional tahun 2019.
"Usulan itu mendapatkan persetujuan untuk dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional Tahun 2019, atas nama Almarhumah Ruhana Kuddus," kata Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial, Pepen Nazaruddin melalui keterangan tertulis, Kamis 7 November 2019.
Roehana Koeddoes (lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 20 Desember 1884 -- meninggal di Jakarta, 17 Agustus 1972 pada umur 87 tahun) adalah wartawan Indonesia. Pada 1911, Ruhana mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia(KAS) di Koto Gadang. Sembari aktif di bidang pendidikan yang disenanginya, Ruhana menulis di surat kabar perempuan, Poetri Hindia. Ketika dibredel pemerintah Belanda, Ruhana berinisiatif mendirikan surat kabar, bernama Sunting Melayu, yang tercatat sebagai salah satu surat kabar perempuan pertama di Indonesia.
Rosihan Anwar adalah putera Minangkabau. Lahir di Kubang Nan Dua, Kabupaten Solok, 10 Mei 1922. Meninggal di Jakarta, 14 April 2011 di usia 88 tahun. Sebagai seorang wartawan, ia banyak menulis buku. Kegemarannya yang tidak dimiliki wartawan lain, adalah mencatat semua kejadian atau peristiwa yang terjadi semendetail mungkin, mulai dari waktu peristiwa itu terjadi, sehingga tulisannya sangat lengkap.
Sebuah buku yang berisi kumpulan tulisannya pada tahun 2009 telah diterbitkan oleh penerbit buku "Kompas," "Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia," Jilid 1, 2 dan 3. Dalam kesempatan ini, saya membaca buku jilid 3, terdiri dari 318 halaman.
Ketika di Blora, Jawa Tengah waktu itu akan dilangsungkan sebuah acara mengenang Pramoedya Ananta Toer, 12-15 September 2018, saya tertarik membaca buku Rosihan Anwar itu tentang Pramoedya Ananta Toer yang diberi sub judul: "Pramoedya Ananta Toer, Sobron Aidit, Dharta, Tokoh Kiri," dari halaman 175-185. Tulisan Rosihan Anwar itu diambil dari majalah "Horizon," Juni 2006 dan "Cek & Ricek," Februari 2007.
Pramoedya Ananta Toer yang diuraikan Rosihan Anwar ini, adalah sastrawan terkenal Indonesia. Pram lahir di Jetis, Blora, Jawa Tengah, pada 6 Februari,1925 dan meninggal dunia pada 30 April 2006 di Jakarta, di usia 81 tahun.
Selanjutnya tokoh pers yang menonjol dalam jajak pendapat "Kompas" itu adalah tokoh pers berasal dari Kabupaten Blora, Jawa Tengah, yaitu Raden Mas Tirto Adhi Soerjo.
Tirto Adhi Soerjo lahir di Blora, sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang terkenal dengan kekayaan hutan jatinya. Tetapi yang tidak kalah penting, Kabupaten Blora menjadi sumber inspirasi para tokoh dan sastrawan nasional yang punya kaitan dengan Blora, yaitu Raden Mas Tirto Adhi Soerjo yang dikenal dengan sebutan Raden Djokomono.
Tirto Adhi Soerjo (Raden Djokomono), lahir di Blora tahun 1880, tetapi besar di Bandung (Jawa Barat). Bahkan diajukan sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Daerah Jawa Barat. Itu dikarenakan, ia lebih banyak berkiprah di Jawa Barat dibanding Blora.
Menjadi teladan untuk generasi muda, adalah sikap tegas dan jujur dari Mas Tirto Adhi Soerjo ini. Pada tahun 1909, sebagai seorang wartawan, ia berhasil membongkar kejadian yang dilakukan Aspiran Kontrolir Purworejo, A. Simon. Dengan sikap berani dan jujurnya itu, Mas Tirto dituduh menghina pejabat Belanda. Akhirnya selama dua bulan, ia dibuang ke Teluk Betung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H