Pasukan Amerika Serikat (AS) yang berada di Suriah meski sebelumnya sudah menjadi keputusan Presiden AS Donald Trump untuk ditarik secara keseluruhan, bukan berarti pulang ke tanah airnya, AS, tetapi mereka langsung ditugaskan ke Irak. Berarti tidak ada jedah bagi pasukan AS tersebut. Hanya sekarang merubah lokasi penugasan dari Suriah ke Irak.
Menurut kantor berita "Sputnik," di Moskow, bahwa tidak seluruhnya pasukan AS ditarik, karena masih ada sekitar 200 tentara penembak jitu AS yang sengaja ditinggalkan di Suriah.
Pertanyaan untuk Irak, begitu gentingkah situasi di wilayah itu setelah pasukan AS dan sekutunya menghancurkan Irak, kemudian menggulingkan Presiden Irak yang sah, Saddam Hussein yang dieksekusi sejak 2003 ? Waktu itu jumlah pasukan AS di Irak mencapai sekitar 170.000 sebelum penarikan penuh selesai pada 2011.
Pasukan AS kembali ke Irak pada tahun 2014 sebagai bagian dari koalisi internasional yang dibentuk untuk memerangi IS yang melanda sebagian besar wilayah utara dan barat serta sejumlah negara.
Irak sekarang memang berada di dalam situasi sulit. Kehadiran pasukan AS di Irak memang perlu dikaji ulang. Sebelumnya AS lebih condong mendukung suku Kurdi Irak yang baru-baru ini mayoritas penduduknya ingin merdeka dari Irak. Tetapi dengan meninggalkan Suriah, pasukan AS seakan-akan membiarkan pasukan Kurdi diserang oleh pasukan Turki di perbatasan antara Suriah dan Turki.
Di sisi lain perlu juga diperhitungkan, karena kehadiran pasukan AS di Irak yang bertetangga dengan Iran, suatu kecemasan AS juga terhadap Iran. AS sejak awal memang ingin memantau Iran dengan kehadiran pasukannya di Irak.
Tetapi menjadi pertanyaan, apakah Irak mengizinkan pasukan AS kembali ke Irak. Untuk ini belum ada komentar resmi dari pemerintah Irak.
Perdana Menteri Irak sekarang adalah Adel Abdul Mahdi. Ia berasal dari Islam Syiah. Bersama Sayyid Muqtada al-Sadr, mereka menentang kehadiran pasukan AS di Irak. Hal ini wajar, karena sejak Saddam Hussein (Islam Sunni), mayoritas penduduk Irak beragama Islam Syiah ingin menunjukkan keberadaannya.
Pada tahun 2003, Saddam Hussein secara paksa diturunkan dari kekuasaan oleh AS, Inggris dan sekutunya selama Perang Irak. Kemudian pada hari Sabtu, 30 Desember 2016, menjelang pukul 6 pagi waktu Irak, Saddam Hussein menghembuskan nafas terakhir di tiang gantungan.
Situasi benar-benar berubah di Irak setelah Saddam Hussein. Pemerintahan tidak lagi di satu tangan. Presiden Irak setelah Saddam Husein, sekarang dipimpin dari suku Kurdi, Ahmed Salih. Ia adalah Presiden Irak ke-10 yang saat ini menjabat sejak 2 Oktober 2018. Dia juga adalah mantan perdana menteri Pemerintah Regional Kurdistan di Kurdistan Irak dan mantan wakil perdana menteri pemerintah federal Irak.
Tiga kekuasaan yang dibentuk bulan Maret 2004 di Irak itu juga berpengaruh kepada sebuah dewan yang didirikan oleh Otoritas Sementara Koalisi yang menandatangani sebuah konstitusi sementara yang disebut untuk pemilihan transisi Nasional Majelis selambat-lambatnya akhir bulan Januari 2005. Majelis ini akan menjadi permanen konstitusi yang kemudian akan diserahkan untuk persetujuan oleh rakyat Irak dalam sebuah referendum. Di posisi inilah Islam Sunni yang di Irak minoritas memperoleh tempat. Sudah tentu berbeda ketika Presiden Irak Saddam Hussein (Islam Sunni) masih berkuasa.