Sore ini, Senin, 30 September 2019, saya mendapat kiriman dari Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam. Foto itu menyatakan bahwa Gubernur Papua meminta maaf kepada warga Minangkabau dan siap merekonstruksi toko dan kios rusak milik suku Minangkabau yang terbakar baru-baru ini di Wamena.
Wakil Gubernur Sumatera Barat Nasrul Abit memang sedang mengunjungi perantau Minang yang mengungsi usai kerusuhan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Nasrul meminta pada pemerintah Kabupaten Jayawijaya untuk membawa perantau Minang yang trauma ke Sentani, Kabupaten Jayapura.
"Tadi saya minta izin, barangkali kami diizinkan ke Sentani sementara, terutama perempuan dan anak-anak. Kami tidak akan tinggalkan daerah ini (Papua)," ujar Nasrul seperti dikutip dari Antara, Minggu, 29 September 2019.
Diberitakan, sebanyak 10 perantau Minang diketahui meninggal dalam kerusuhan di Wamena. Delapan jenazah dipulangkan ke kampung halaman dan dua jenazah dimakamkan di Papua. Sementara itu, sekitar 5.500 pengungsi korban kerusuhan Wamena butuh bantuan makanan.
lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 8 Oktober 1954.
Sementara itu, informasi yang kita peroleh bahwa masalah kerusuhan di Wamena dipicu oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sejak penyerahan kedaulatan Papua ke Indonesia, maka OPM dianggap gerakan ilegal. Organisasi ini lahir semasa Belanda menduduki Papua. Setelah Papua secara "de facto," dan "de jure," masuk ke wilayah RI, maka gagal pula cita-cita Belanda membentuk boneka OPM. Hingga sekarang mereka bersembunyi di pegunungan Papua. Sesekali mereka turun ke kota, seperti peristiwa Wamena baru-baru ini di mana mereka membakar rumah penduduk dan membunuh warga.
Satu hal lagi yang perlu diingat. Kekacauan di Wamena juga disusupi gerakan yang dikoordinasikan dari luar, yaitu dari Benny Wenda.
Meski Indonesia telah mengecam penghargaan bagi tokoh separatis Papua di Inggris, Benny Wenda, pemerintah Indonesia memang harus tetap waspada, apakah Papua sengaja diangkat ke permukaan demi memunculkan opini baru tentang Papua yang seirama dengan keinginan OPM yang selama ini selalu mengacaukan situasi di Papua.
Baru-baru ini memang kita terkejut dan kaget dengan ulah Dewan Kota Oxford, Inggris, yang memberikan penghargaan "Freedom of the City Award" kepada tokoh separatis Papua Benny Wenda, hari Rabu, 17 Juli 2019, yang tinggal di Inggris. Sekaligus penghargaan itu merupakan kelanjutan dukungan Dewan kota kepada gerakan Papua Merdeka setelah memberi izin pembukaan kantor "Free West Papua Campaign" di Oxford pada 2013.
Waktu itu, dalam jumpa pers mingguan di kantornya, Kamis, 18 Juli 2019, pelaksana tugas juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah menegaskan, pemerintah Indonesia mengecam tindakan Dewan Kota Oxford yang telah memberikan penghargaan kepada Benny Wenda, pegiat separatisme yang memiliki rekam jejak kriminal di Papua.
"Penghargaan ini menunjukkan ketidakpahaman Dewan Kota Oxford pada sepak terjang yang bersangkutan dan kondisi provinsi Papua dan Papua Barat," kata Faizasyah.
Meski begitu, lanjutnya, Indonesia menghargai sikap tegas pemerintah Inggris yang konsisten mendukung penuh kedaulatan dan integritas Indonesia.