Pagi ini, Jumat, 13 September 2019, saya menerima catatan singkat dari Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) Prof. Dr. Susanto Zuhdi. Catatan itu masih berkaitan dengan meninggalnya Prof. Dr. Ing. BJ Habibie.
Susanto Zuhdi memberi catatan singat tentang BJ Habibie itu dengan "Renungan Sejarah."
Dulu, ujar Susanto Zuhdi, pemerintahan singkat Presiden B.J. Habibie (BJH) dianggap sebagai "Orde Baru Jilid 2." Oleh karena itu beliau "diturunkan" karena pertanggungjawaban sebagai Presiden tidak diterima. Dan kita masih ingat betapa beliau dicemoohkan sewaktu memasuki gedung DPR-RI dengan suara serentak "huuu...huuu." Tetapi dibalas dengan senyuman khas Beliau dan lambaian tangan penuh persaudaraan, tanpa kesal apalagi dengan marah.
Kemudian, Catatan Susanto Zuhdi ini dilanjutkan. Almarhum kemudian dielu-elukan sebagai "Bapak Demokrasi Indonesia. "Pertanyaan Susanto Zuhdi, jadi bagaimana ia dianggap sebagai "Orde Baru Jilid 2" ? Bukankah kontradiktif dgn Orde Baru yang "otoriter" ?
Rupanya memang harus lebih dahulu menjadi "sejarah" dan baru kita "dipaksa" untuk mempelajarinya. Tapi bukankah ini terlambat?, ujar Susanto Zuhdi.
Guru Besar UI ini berharap, jangan sampai kita mengulangi sejarah seperti ini (lagi). Sebab bagaimana bisa menjadi bangsa yang besar jika tidak dapat belajar dari sejarah?, tanyanya.
Saya sepakat dengan pendapat Guru Besar UI tersebut. Ada batas yang sangat jelas antara pemerintahan Presiden Soeharto dan Presiden BJ Habibie. BJ Habibie benar bahwa Presiden Soeharto lah yang memanggil ia pulang dari Jerman.
Soeharto juga yang merestui apa yang dilakukan Habibie, juga membentuk Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Tetapi benar juga, persahabatan mereka berakhir ketika BJ Habibie muncul sebagai pengganti Presiden Soeharto sewaktu menyatakan mengundurkan diri. Di sini mulai terjadi ketersinggungan amat mendalam dari BJ Habibie, bahwa ia merasa "dilecehkan."
Di dalam buku Roy Binilang Bawatanusa (BB) Janis tentang "Wapres: Pendamping atau Pesaing ? (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, 2008) tentang Wapres BJ Habibie digambarkan bahwa dirinya "dilecehkan."
Hal. 236 dan 237 buku setebal 376 ITU dijelaskan bahwa Habibie mengungkapkan bahwa ia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk meminta penjelasan kenapa Soeharto berhenti.
"Saya tercengang melihat Pak Harto, melewati saya terus melangkah ke ruang upacara dan 'melecehkan' keberadaan saya di depan semua yang hadir. Betapa sedih dan perih perasaan saya ketika itu. Saya melangkah ke ruang upacara mendampingi Presiden Soeharto, manusia yang sangat saya hormati, cinta dan kagumi yang ternyata mengaggap saya seperti tidak ada " ujar Habibie.