Seorang mahasiswi dari Universitas Negeri Malang bernama Yulinar Indah Cristanti, pada hari Rabu, 4 Agustus 2019 ingin bertemu dengan saya di kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia ingin meneliti tentang "Golkar dan Suara Karya." Saya sudah tentu menyambutnya dengan baik. Seorang anak muda yang bersenangat meneliti tentang Golongan Karya (Golkar).
Mengapa saya antusias menerima mahasiswi ini? Karena ia memilih judul sangat menarik ketika kita sibuk mendiskusikan berbagai partai politik yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Kedua, ia sendiri jauh-jauh dari Malang mengadakan penelitian di Jakarta. Kebetulan saya memang pernah menjadi wartawan di harian "Suara Karya" tersebut.
Golongan Karya (Golkar), dulu semasa Presiden Soeharto berkuasa enggan memakai imbuhan Partai. Jadi cukup Golongan Karya saja.
Di masa Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun, Golkar memperoleh hak istimewanya. Di masa ini, seorang Presiden memegang tiga wewenang sekaligus. Dia adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang TNI), dia adalah Kepala Eksekutif dan sangat kontroversial, dia juga adalah Ketua Dewan Pembina Golkar.
Sementara kedua partai politik lainnya, masing-masing Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) seakan-akan terpinggirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Memang kalimat "seakan-akan" memberi arti bahwa tidak terlalu terlihat apa yang dilakukan oleh Presiden. Jika ada acara-acara ketiga partai tersebut, Presiden selalu menghadiri acara Golkar.Tetapi kalau berlangsung acara dua Partai Politik lainnya, yang hadir cukup wakil yang ditunjuk oleh Presiden.
Pada masa Orde Baru ini, tidak ada kata kalah dalam kamus Golkar, jika sedang melaksanakan Pemilihan Umum. Golkar selalu menang. Tetapi pada 21 Mei 1998, ketika Ketua Dewan Pembina Golkar, Soeharto lengser dari jabatan Presiden Republik Indonesia, terjadi berbagai perubahan dalam tubuh Golkar. Sudah tentu Golkar ikut terseret ke dalamnya dan dianggap bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan Soeharto selama 32 tahun. Golkar dihujat, dicaci maki, malah ada yang berkeinginan agar Golkar dibubarkan.
Keinginan membubarkan Golkar ini bukan hanya datang dari sebahagian masyarakat, tetapi juga dari penyelenggara negara di masanya, sebut saja Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ketika mengeluarkan Maklumat Presiden Republik Indonesia pada tanggal 23 Juli 2001, Gus Dur memaklumkan di poin ke-3 nya untuk membekukan Golkar dengan dalih untuk menyelematkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur Orde Baru.
Akhirnya sejarah berkata lain, keinginan untuk membekukan Golkar ditolak Mahkamah Agung. Di era Reformasi, pada 7 Maret 1999 Golkar mendeklarasikan diri sebagai Golkar "baru," di bawah Ketua Umumnya, Ir.Akbar Tandjung. Di Pemilihan Umum, Juni 1999, Golkar sudah memakai imbuhan Partai. Lengkapnya Partai Golkar.
Pada waktu ini Golkar masih meraih suara kedua, di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Partai Golkar terus berbenah diri. Ketua Umumnya silih berganti, dari Akbar Tandjung ke Jusuf Kalla dan sekarang Aburizal Bakrie. Sepertinya baru sekarang ini, Partai Golkar menghadapi dilema. Pencalonan Aburizal Bakrie sebagai Presiden RI mengundang kritikan-kritikan tajam, terutama dari Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla.
Elektabilitas Aburizal dalam Pemilu tidak pernah mampu menandingi calon-calon Presiden RI lainnya. Ada himbauan agar Aburizal mundur saja dari pencalonan dan menggantinya dengan kader-kader Golkar yang lain. Di detik-detik terakhir Aburizal masih tetap ngotot menjadi Calon Presiden RI.