Hari ini, Kamis, 22 Agustus 2019, Dr. Aris Poniman, yang pernah mengajar saya di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia mengirimkan berita tentang Sri Sultan Hamengku Buwono X dari Kagama, Keluarga Alumni Universitas Gajah Mada (Kagama).
Meski orasi kebangsaan dari Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X itu disampaikan pada Rabu, 14 Agustus 2019 dan berbagai kegaduhan di Papua terjadi setelah bangsa Indonesia merayakan Proklamasi Kemerdekaan RI ke-74, menurut saya, orasi kebangsaan itu tepat untuk direnungkan oleh bangsa Indonesia, terutama saudara-saudara kita di Papua.
Buat saya, masyarakat Papua tidak terlalu asing, karena sejak 1975-1980, berada di lingkungan masyarakat Papua ketika kuliah di Universitas Cenderawasih, Abepura, Papua.
Kembali ke orasi Sri Sultan Hamengku Buwono IX, berdasarkan dari sumber Kagama, ia mengangkat topik "Merajut Kembali Persatuan Bangsa." Dalam hal ini, Sultan ingin mengajak semua yang hadir dalam aubade untuk kembali berkaca pada cermin sejarah di masa "Republik-Yogya" pada 1945-1949.
Sebab, ujar Sultan, Ruh Pancasila dan semangat kebhinekaan pada waktu itu disemaikan di Jogja. Juga dalam orasinya, Sultan banyak bercerita tentang narasi kemanusiaan dari para pribadi pelaku sejarah. Seperti sejarah dibuatnya bendera merah putih oleh Fatmawati, Bung Karno yang membuang teks proklamasi ke tong sampang hingga kemudian dipungut dan disimpan oleh wartawan B.M Diah.
Ketika Sultan bercerita tentang pengetikan teks proklamasi oleh Sayuti Melik, rapat kilat narasi proklamasi, saya ingin menambahkan hasil wawancara saya dengan "Tempo.co," pada 17 Agustus 2017.
Teks proklamasi 17 Agustus 1945 asli dengan tulisan tangan Presiden RI Pertama Sukarno sempat disimpan selama 49 tahun (17 Agustus 2017.red) oleh wartawan senior Burhanuddin Mohammad Diah atau akrab disapa BM Diah. Pendiri Harian Merdeka tersebut mengambil teks proklamasi asli yang dibuang pengetik naskah proklamasi, Sayuti Melik.
"Dia (BM Diah) cerita kepada saya, ketika Sayuti Melik ngetik teks Proklamasi 17 Agustus, yang disuruh Bung Karno, saat itu Diah sedang melihat (Sayuti) dari belakang," kata Dasman Djamaluddin, penulis buku 'Butir-butir Padi B.M. Diah, Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman' saat diwawancara Tempo pada Rabu, 16 Agustus 2017.
Menurut Dasman, Sayuti Melik kemudian membuang teks Proklamasi tulisan tangan Bung Karno ke tempat sampah. Karena yang dipakai memproklamirkan kemerdekaan adalah naskah hasil ketikan Sayuti. "Kemudian Diah memungut (naskah Proklamasi) itu, dimasukin ke saku celananya," tutur Dasman.
"Mari kita semua merajut kembali persatuan bangsa, yang dijiwai oleh semangat peduli dan berbagi serta bergotong-royong antar sesama tanpa membeda-bedakan asal-usul suku, agama, dan golongan," ujarnya.