Arswendo Atmowiloto meninggal dunia pada Jumat, 19 Juli 2019, pukul 17.50 WIB di usia 70 setelah berjuang melawan kanker prostat. Kabar ini dikonfirmasi oleh sumber yang dekat dengan keluarga.
Sebelumnya Arswendo sempat dilarikan ke rumah sakit karena kondisi kesehatannya yang menurun.
Arswendo Atmowiloto merupakan seniman dan budayawan legendaris di Indonesia. Bermula berprofesi sebagai wartawan, kepiawaian Arswendo menciptakan banyak karya tulis menjadikan dirinya sebagai sosok penting dalam sejarah literasi Indonesia.
Waktu itu, sebagai seorang moderator di sesi kedua, sudah tentu saya sangat menghargai kehadiran dua budayawan tersebut. Minimal bisa mencerahkan pemikiran-pemikiran mengenai makna kemerdekaan itu sendiri terutama mengenai hasil-hasil karya mereka yang kalau boleh saya katakan melampaui batas-batas kemampuan rata-rata putra bangsa.
"Inilah sebetulnya makna kemerdekaan buat anak bangsa, karena mereka tidak berteori tapi berkarya," ujar saya mengawali pembicaraan sebagai moderator. Juga sebagaimana diharapkan para pembicara di sesi pertama, bahwa hendaknya untuk memaknai sebuah kemerdekaan kita harus jujur, dan konsekuen, maka dengan profesi kedua nara sumber ini membuktikan hal itu.
Sebagai pembicara pertama, Arswendo Atmowiloto megulas makalahnya berjudul "Nasionalisme Nasi Goreng". Sekilas terasa aneh didengar, tetapi setelah diulas barulah kita bisa memahami bahwa "nasi goreng" itu menunjukan ciri khas masakan asli Indonesia. Arswendo ingin menggarisbawahi bahwa jati diri kita sebagai bangsa sudah pudar.
"Sayangnya nasi goreng tidak dikenali dalam bahasa komputer, sehingga setiap kali menuliskan goreng, otomatis berganti dengan goring. Seakan kata nasi goreng adalah salah dan perlu dikoreksi." Tetapi meskipun demikian, lanjut Arswendo, nasib nasi goreng tidak seburuk durian, terasi, kretek atau jamu kuat.
"Di negerinya sendiri durian tak leluasa disajikan di hotel, atau bahkan dalam kamar, atau sebagai tentengan ketika naik pesawat terbang. Terasi dianggap kotor, diganti bumbu masak plastikan. Kretek, juga rokok dianggap jelek, jorok, dan berbahaya, sementara jamu kuat dianggap illegal," ujar Arswendo.
Memakai bahasa sehari-hari yang mudah dicerna dan dipahami, Arswendo ingin mengungkapkan, kenapa bangsa ini tidak mencintai produksi dalam negeri? Inilah tragedi nasionalisme, tegas Arswendo.
"Bagaimana bisa hanya untuk menentukan kecantikan seorang gadis, harus diukur dan dibandingkan antara lingkar dada, pinggang, dan pantat," kembali Arswendo mengingatkan, seharusnya untuk menentukan seorang gadis cantik bukan dari ukuran itu.