"Setelah kalah langsung mengakui kekalahannya dan mengucapkan selamat kpd lawannya...itu negarawan. Klo ini....malah mengaku menang, gugat, masih gugat lagi, di loby2, dibujuk2, baru mau ngaku kalah. Lho...begini kok disebut begarawan. Yg jujur dan obyektif dong...jangan ngarang..."
Inilah komentar sahabat saya Effendi Choiri ketika saya mengatakan, bahwa maunya Prabowo Subianto bertemu Presiden Jokowi (Joko Widodo) itu adalah fakta sejarah. Saya menulis bahwa ia adalah seorang negarawan.
Mungkin Bung Effendi Choiri tidak membaca nalar berpikir saya sehingga menyimpulkan hal demikian. Sebenarnya ketika bersama-sama menjadi jurnalis di Kelompok Kompas, saya yakin Bung Effendi sering membaca tulisan atau analisa saya ketika sama-sama bekerja di grup pimpinan Jacob Oetama tersebut. Sayang karena sudah lama tidak berkomunikasi, sehingga sulit bisa dipahami lagi.
Pertama, kita kutip pernyataan Ahok, mantan Gubernur DKI Jakarta pada hari Rabu, 28 Desember 2016. "Kita kan pasang CCTV. Nanti akhir tahun bisa selesai 6.000 yang bisa deteksi muka," ujar Ahok di Cililitan, Kramatjati, Jakarta Timur, waktu itu. Dari informasi ini, Prabowo sudah bisa memahami perkembangan politik yang mengarah kerusuhan, karena diduga ada yang menbonceng.
Kedua, Prabowo tidak berkeinginan ada korban berjatuhan lagi. Ia muncul di layar televisi agar pendukungnya menghentikan aksi-aksi di sekitar Mahkamah Konstitusi (MK) yang sedang memperkarakan kasus Pemilihan Presiden 2019.
Ketiga, memang ia enggan muncul lagi ke permukaan, sehingga terjadilah pertemuannya dengan Jokowi yang telah diterapkan Mahkamah Konstitusi sebagai Presiden Republik Indonesia terpilih.
Ketika saya ke Irak pada bulan Desember 1992, saya tidak bisa langsung ke Irak terapi harus ke Jordania dulu. Kenapa? Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan resolusinya melarang pesawat udara dari negara mana saja melintasi udara Irak, tepatnya di Zona Larangan Terbang Paralel 36 derajat sebelah Utara dan Paralel 32 derajat sebelah Selatan kawasan udara Irak. Adalkah sikap Perserikatan Bangsa-Bangsa di sebuah negara merdeka dan berdaulat?
Jika sebuah negara tidak mampu mempertahankan kestabilannya, jangan harap intervensi asing tidak masuk. Itulah sebenarnya yang kita ingin capai terlebih dahulu, yaitu kestabilan sebuah pemerintahan. Indonesia tidak ingin seperti Irak. Sebuah negara berdaulat dan merdeka diobrak abrik kekuatan asing. Bahkan Presiden Saddam Hussein harus dihukum mati di tiang gantungan. Jika sudah seperti ini, tidak satu negara pun bisa mendukung, meski banyak yang mengatakan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.661 yang dikeluarkan pada tanggal 6 Agustus 1990, tentang embargo perdagangan membuat rakyat Irak menderita, tidak satupun negara membantu.
Itulah yang terjadi Bung Effendi Chori, apabila negara sudah tidak stabil. Apalagi ketika Negara Islam di Irak terbentuk, negara Irak yang dulunya aman lebih porak poranda lagi. Ketika saya ke Irak untuk kedua kalinya, September 2014, saya melihat timbunan tanah mengunung akibat bom yang dijatuhkan Amerika Serikat dan sekutunya melawan gerilyawan Negara Islam di Irak yang berdiri 15 Oktober 2006.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H