Inilah wajah anak-anak Afghanistan sekarang ini. Muram, sulit untuk tersenyum. Mereka tidak ceria seperti anak-anak dari negara lain. Bermain dengan teman sebaya, bersenda gurau dan memiliki masa depan yang jelas.
Anak-anak Afghanistan tidak demikian. Mereka sepertinya tidak memiliki masa depan. Sewaktu-waktu bom mobil atau ranjau atau berondongan senjata api terjadi, karena memang mereka dilahirkan di wilayah konflik.
Ledakan bom tidak pernah terduga. Baru-baru-baru ini para pejabat di Kementerian Urusan Haji di Afghanistan bahkan harus meminta supaya masjid di seluruh pelosok negeri dijaga oleh aparat keamanan bersenjata menyusul serangkaian serangan terhadap ulama.
Pada hari Senin, 27 Mei 2019, bom meledak di atas bus mini yang membawa para pegawai Kementerian Agama di Kabul yang menyebabkan setidaknya sepuluh orang luka-luka. Satu laporan menyebutkan seorang di antaranya dalam keadaan kritis.
Sehari sebelumnya, ulama bernama Shabir Ahmad Kamawi, tewas ditembak. Itu terjadi pada hari Jumat, 24 Mei 2019, Samiullah Raihan, ulama terkemuka yang dikenal menentang bom bunuh diri, tewas terkena ledakan bom di kompleks masjid. Polisi di Kabul mengatakan, selain Raihan, tiga jemaah tewas, sementara sedikitnya 16 orang mengalami luka-luka.
Ini bulan Ramadhan, buat kelompok yang sudah lama bersengketa tidak peduli. Lihatlah foto di atas, mereka berbuka puasa dengan apa adanya. Tidak disajikan orang tua seperti kita di Indonesia. Makanan boleh dikatakan berlimpah. Jika di Afghanistan? Mereka hanya berharap makan dan minum hari ini. Besok atau lusa mereka tidak tahu, nyawa mereka pun bisa melayang.
Kantor Berita Prancis, AFP, sebagaimana foto di atas memang sedang memperlihatkan wajah anak-anak perempuan Afghan di sebuah sekolah. United Nations Childrens Fund (UNICEF) yaitu sebuah organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memberikan bantuan kemanusiaan dan perkembangan kesejahteraan jangka panjang kepada anak-anak mengatakan bahwa sebagian besar anak perempuan Afghanistan tidak bersekolah lagi.
Tahun lalu sebuah serangan bersenjata terjadi di sekolah, sehingga korban anak-anak yang tewas meningkat dari 68 orang pada tahun 2017 menjadi 192 pada tahun 2018. Tercatat anak-anak usia 18 tahun itu tidak sekolah lagi, karena lebih kurang 1000 sekolah di tahun 2018 ditutup. UNICEF menggarisbawahi 500 ribu anak perempuan melepaskan hak-hak mereka untuk belajar.
Di masa kelompok Taliban berkuasa di Afghanistan dari tahun 1996 hingga 2001, mereka tidak mengizinkan anak-anak perempuan bersekolah. Kelompok Taliban ini merupakan pecahan kelompok Mujahidin dan terdiri dari kaum mahasiswa teologia tamatan Pakistan.
Afghanistan yang terletak di antara negara-negara Iran, Pakistan, Rusia dan Republik Rakyat China itu selalu bergolak. Sejak Uni Soviet (Rusia) menduduki Afghanistan selama 10 tahun dan kemudian menarik diri seluruhnya dari wilayah itu, pada tanggal 15 Februari 1989, pertikaian demi pertikaian di atara kelompok terus terjadi.
Awalnya masuknya Uni Soviet ini yang memperkeruh situasi di Afghanistan. Waktu itu Amerika Serikat mendukung kelompok Mujahidin agar Uni Soviet keluar dari Afghanistan. Setelah Uni Soviet keluar, selanjutnya Taliban, pecahan Mujahidin, juga tidak mampu bertahan. Adanya kelompok Muslim Sunni Afghanistan, yaitu 87 persen yang berkiblat ke Pakistan dan kelompok Muslim Syiah (12 persen) yang berkiblat ke Iran, dua-duanya negara yang terletak di perbatasan, lebih mempersulit penyelesaian sengketa di Afghanistan.