Bambang Widjojanto memang lagi kesal dan marah. Pria kelahiran Jakarta, 18 Oktober 1959 yang kini berusia 59 tahun itu, baru-baru ini mengkritisi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan menilai penyelenggaraan Pemilihan Umum 2019
adalah yang terburuk sejak era reformasi. Jika prinsip dasar Luber tidak dipenuhi, untuk apa ada Pemilu?
Bambang Widjojanto memang sedang kesal. Ketika itu, ia sedang diskusi bertema '"Selamatkan Suara Rakyat" di kawasan SCBD, Jakarta, Minggu, 21 April 2019. Ia menegaskan punya alasan untuk memberi pernyataan itu. Kecurangan pada Pemilu 2019 ini terjadi sangat terstruktur, sistemis, dan masif, tekannya. Begitu banyak fakta kecurangan terjadi hampir di seluruh Indonesia. Padahal, demikian Bambang, kualitas pemilu ditentukan oleh kejujuran, bukan kerahasiaan.
Menurut Bambang, Pemilu yang baik pada dasarnya memiliki prinsip "Luber" yang berarti langsung, umum, bebas, dan rahasia. Namun Luber saat ini tidak ada kebebasan. Surat suara yang dicoblos pun, kata dia, bukan hoax.
Pendapat Bambang Widjojanto ini sudah tentu sangat memprihatinkan kita, sebagai bangsa Indonesia. Awalnya kita berharap Pilpres dan Pemilu 2019 bertambah baik. Apalagi penyelenggaraan berbagai Pilpres dan Pemilu terjadi di Era Reformasi, setelah lengsernya Presiden Soeharto.
Memang seharusnya Partai Golkar yang maju ke depan. Golkar semasa berakhirnya kepemimpinan Presiden Soeharto selama 32 tahun dan meninggalnya beliau, banyak mengalami berbagai cobaan dan rintangan. Selama 32 tahun Golkar (dulu enggan disebut partai) mengalami kejayaan luar biasa.
Di masa Soeharto waktu itu, seorang presiden memegang tiga wewenang sekaligus. Dia adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata RI, juga Kepala Eksekutif dan sangat kontroversial, dia juga adalah Ketua Dewan Pembina Golkar. Sementara kedua partai politik masing-masing Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), seakan-akan terpinggirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tetapi terjadi juga perubahan drastis di tubuh Golkar. Perubahan itu dihitung sejak Soeharto lengser dari jabatan Presiden RI pada tanggal 21 Mei 1998. Golkar ikut terseret ke dalamnya dan dianggap bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan Soeharto selama 32 tahun. Waktu itu Golkar ikut dihujat, dicaci-maki, malah ada yang berkeinginan agar Golkar dibubarkan.
Keinginan membubarkan Golkar bukan hanya datang dari sebagian masyarakat, tetapi juga dari penyelenggara negara waktu itu, yaitu sebut saja KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ketika ia mengeluarkan Maklumat Presiden RI tanggal 23 Juni 2001, Gus Dur memaklumatkan di poin ketiganya untuk membekukan Partai Golkar dengan dalih untuk menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru. Padahal, dalam pemilihan umum, Juni 1999, Partai Golkar berhasil meraih kemenangan kedua di bawah PDIP. Akhirnya, sejarah membuktikan bahwa keinginan untuk membekukan Golkar ditolak MA.
Sebenarnya, pada waktu itu juga, Golkar telah memasuki era baru. Golkar telah mengubah citranya menjadi Golkar "baru" yang dideklarasikan pada tanggal 7 Maret 1999 yang antara lain menyatakan Golkar akan mempelopori tegaknya kehidupan politik yang demokratis dan terbuka, Golkar akan memperjuangkan aspirasi kepentingan rakyat sehingga menjadi kebijakan politik yang bersifat publik, Golkar telah menyatakan diri sebagai partai yang mengakar dan responsif serta senantiasa peka dan tanggap terhadap aspirasi dan kepentingan rakyat.
Lebih penting dari itu, Golkar telah berupaya mengambil tindakan tegas terhadap KKN dan Golkar telah melakukan koreksi yang terencana, melembaga, dan berkesinambungan terhadap penyimpangan yang terjadi di masa lalu. Sudah tentu dua poin ini perlu sekali digarisbawahi di masa Pilpres dan Pemilu 2019 kali ini.
Kritikan Bambang Widjojanto perlu sekali dicermati. Ia adalah orang yang pernah menyaksikan berbagai perkembangan di tanah air. Sebagai seorang pengacara Indonesia, ia pernah memimpin Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dan merupakan pendiri Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) bersama almarhum Munir. Bambang termasuk pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Kontras, dan Indonesian Corruption Watch (ICW). Bambang meraih penghargaan Kennedy Human Rights Award. Bambang Widjojanto adalah alumnus Universitas Jayabaya tahun 1984.