Kunjungan Presiden Iran Hassan Rouhani ke Irak, pada hari Senin, 11 Maret 2019 lalu, tidak hanya menjadi tonggak bersejarah kedua negara bertetangga itu, tetapi juga menjadi kecemasan Amerika Serikat dan Israel yang memang semula berkeinginan merencanakan invasi ke Iran.
Invasi ini sudah terlihat dengan munculnya tanda-tanda kerusuhan di Iran. Memang semuanya dapat diatasi penerintah Iran, yaitu dengan dikenakannya tahanan rumah kepada Ahmadinejad, mantan Presiden Iran.
Selama kunjungan perdananya ke Irak, Rouhani bertemu dengan Perdana Menteri Irak Adil Abdul-Mahdi, Presiden Barham Salih, dan kepala ulama Syiah Ayatollah Ali Sistani. Menurut saya pertemuan dengan ulama Syiah inilah yang sangat penting, meski di permukaan hal tersebut boleh dianggap hal biasa. Era pengikut Presiden Irak Saddam Hussein yang Sunni, betul-betul berakhir.
Sebelum kedatangan Presiden Iran ke Irak, masih ada para pengikut Presiden Irak Saddam Hussein di dalam gerakan Negara Islam di Irak. Awalnya keinginan pengikut Presiden Saddam Hussein ingin membalas dendam atas kematian presidennya di tiang gantungan pada hari Sabtu, 30 Desember 2006.
Pengikut Saddam ini bergabung di dalam delapan kelompok milisi bersenjata Irak, yang kemudian mendirikan Negara Islam di Irak (ISI), kemudian meluas ke Suriah menjadi ISIS (Negara Islam di Irak dan Sham/Suriah). Buat pengikut Saddam Hussein, tujuan utama melawan Amerika Serikat yang telah melakukan invasi ke negara 1001 malam itu dan mengusirnya dari Irak.
Kedatangan Presiden Iran buat pertamakalinya ini memastikan bahwa Irak adalah tetangga dan teman dekat Iran setelah musuh utama Iran, Presiden Irak Saddam Hussein disingkirkan Amerika Serikat dan sekutunya. Buat Iran, tersingkirnya Saddam, keberuntungan tidak terhingga.
Iran dari awal memang selalu bersengketa dengan Iran, sebagaimana kita saksikan dalam Perang Irak-Iran selama delapan tahun. Perang itu berhenti tanpa kesepakatan damai. Jadi kalau kita berbicara mengenai Saddam Hussein di depan bangsa Iran, maka cepat-cepat mereka menalingkan mukanya tanda tidak suka.
Bagaimana sikap Amerika Serikat terhadap Irak dan Iran, di masa lalu dan sekarang. Amerika Serikat dalam Perang Irak-Iran mendukung Presiden Irak Saddam Hussein. Banyak senjata modern dikirim ke Irak. Tetapi setelah Irak menginvasi Kuwait, hubungan Irak-Amerika Serikat berbalik 180 derajat. Bahkan ingin membela Kuwait, maka Irak terusir dari Kuwait. Akhirnya, Amerika Serikat dan sekutunya menyerang Irak dan menggulingkan Presiden Irak, Saddam Hussein.
Bagaimana pula hubungan Amerika Serikat dengan Iran? Hubungan kedua negara sangat baik di masa Shah Reza Pahlevi. Boleh dikatakan semasa pemerintahan monarki yang berdiri sejak tahun 1906. Kemudian setelah Revolusi Islam Iran berdiri tanggal 11 Februari 1979, Iran berganti menjadi menjadi Republik Islam Iran di bawah komando Imam Khomeini yang waktu itu sudah berusia 80 tahun. Sang Ayatollah meninggal dunia di usia 87 tahun pada 3 Juni 1989.
Buat Irak untuk menerima Presiden Iran ini suatu pilihan yang sulit. Tetapi Irak melihat posisinya jauh ke depan setelah Presiden Irak Saddam Hussein tumbang. Mayoritas penduduk Islam Syiah itu di Irak lebih banyak dari penduduk Islam Sunni. Itulah yang saya sebut munculnya Saddam Hussein (Sunni yang minoritas) merupakan suatu ketentuan Allah SWT. Di Suriah pun demikian. Di masa Hafez al-Assad (ayah Presiden Suriah sekarang, Bashar al-Assad) yang beragama Islam Syiah memerintah rakyatnya mayoritas Islam Sunni.
Di Irak, selama kunjungan saya ke negara itu tahun 1992 dan 2014, tidak terlihat jelas perbedaan ini, karena perbedaannya bukan diajaran Nabi Muhammad SAW, tetapi di dalam memilih Khalifah melanjutkan perjuangan nabi. Islam Syiah mengganggap Ali r.a yang berhak menjadi Khalifah Pertama. Alasannya, karena sebagai sahabat nabi, Ali r.a adalah juga menantu nabi. Tetapi yang terjadi, Abubakar r.a Khalifah Pertama, Umar r.a Khalifah Kedua, Utsman Khalifah Ketiga dan Ali r.a Khalifah Keempat.