Jayapura, ibu kota Papua yang dulu disebut Irian Barat itu terlihat sangat indah diwaktu malam. Memang pulau terluas di Indonesia itu sangat indah, berbukit- bukit, dan di sanalah saya berada empat tahun ketika menuntut ilmu di Universitas Negeri Cenderawasih, Abepura.
Nama Papua kembali menjadi bahan pembicaraan minggu ini setelah kelompok agama Kristen dan Islam menolak kehadiran pendiri Laskar Jihad, Ja'far Umar Thalib, sekarang berusia 57 tahun di Papua. Ada gelagat ia dan kelompoknya akan membuat kerusuhan baru di bumi burung Cenderawasih itu.
Minggu lalu Ja'far Umar Thalib dan pengikutnya telah melakukan perbuatan itu, sehingga suasana damai di Papua terusik. Peristiwa berawal saat Henock memutar musik dengan suara keras di rumahnya. Tiba-tiba segerombolan orang berbaju putih datang membawa samurai. Massa mengatakan, musik yang dinyalakan Henock mengganggu ibadah di masjid. Massa lalu merusak pengeras suara yang digunakan untuk menyetel musik dan pergi dengan menggunakan mini bus.
Dalam peristiwa itu, Jafar berperan sebagai pemilik dua bilah samurai yang digunakan untuk merusak dan selalu dibawa di mobilnya. Selain itu, Jafar disangka menghasut santri untuk memperingati korban agar mematikan musik.
Dua santrinya, disangkakan berperan membawa samurai dan melakukan pengrusakan terhadap speaker di rumah korban. Adapun empat anggota Jafar sisanya, disangka berperan ikut mendatangi rumah korban dan memperingati korban untuk mematikan musik.
Pemerintahan Kota Jayapura tidak mau mengambil resiko lebih lanjut dan sepakat mengusir Ja'far Umar Thalib dari Papua yang sudah bisa dikatakan hidup damai antara ummat beragama Nasrani dan Muslim. Hal itu saya rasakan ketika di Papua dan kuliah di Universitas Negeri Cenderawasih tidak pernah terjadi persinggungan antara ummat Kristen dan Islam di kampus. Bahkan ketika saya menjadi Ketua Umum Lembaga Hukum Mahasiswa Islam (LHMI) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jayapura, saya merekatkan hubungan dengan menjalin kerja sama dengan Sekolah Tinggi Teologia Gereja Kristen Indonesia.
Oleh karena itulah saya begitu terkejut ketika terjadi gesekan antara pengikut Ja'far Umar Thalib dengan kelompok Nasrani (Henock). Itu tidak mungkin terjadi jika Ja'far bukan terlibat dalam gerakan Islam Ekstrim. Bahkan ia pada tahun 1987 pernah ikut berperang selama dua tahun untuk mengusir pasukan Uni Soviet (nama lama Rusia) dari Afghanistan. Tahun 1993, pernah ikut dalam sengketa di Yaman. Jadi ia tidak boleh dianggap enteng. Saya sepakat agar Ja"far tidak mengaduk-aduk kedamaian rakyat Papua, di mana kerukunan antar ummat beragama telah berlangsung di sana.
Indonesia menjadi sasaran propaganda pihak asing. Mungkin di antara kita pernah membaca Majalah Mingguan Amerika Serikat TIME, edisi 1 April 2002 ? Walaupun sudah terbilang lama, bagi yang belum sempat membacanya atau terlewatkan membaca edisi ini, perlu kiranya untuk mengetahui isi dari majalah tersebut.
Dulu di tahun-tahun lima puluhan, majalah ini sangat gencar meliput peristiwa PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang diprakarsai Ahmad Husein. Boleh dikata liputan peristiwa PRRI, terutama antara Februari sampai Oktober 1958 berjumlah 171 tulisan.
Pada edisi 1 April 2002 itu, semua orang pasti kaget melihat peta Indonesia menjadi peta Daulah Islamiah Raya, sebuah negara impian sebagaimana dikutip TIME yang ide pertamanya berasal dari Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo di tahun 1949.
Perbedaan yang mencuat ke permukaan adalah bahwa ide asli Kartosuwiryo bukanlah ide negara Islam sebagaimana yang tengah dipaparkan TIME di dalam edisi tersebut. Kartosuwiryo awalnya memang bercita-cita mendirikan sebuah negara Islam, tetapi "Negara Islam Indonesia."