Sesudah tidak lagi sebagai hakim, ia pernah dipercaya menjadi Ketua Panitia Seleksi Penasihat KPK (2009) dan Ketua Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (2009-2010).
Selain itu, ia juga diangkat menjadi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden(Wantimpres) Bidang Hukum dan Ketatanegaraan sampai kemudian mencalonkan diri sebagai calon Ketua KPK.
Ia juga aktif menjadi Penasihat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (2009-sekarang) dan sejak 2013-2018 menjadi Ketua Dewan Penasihat. Aktivitas organisasinya, ia pernah aktif di organisasi kepemudaan Pelajar Islam Indonesia (PII).
Sekarang di samping mengajar, Jimly aktif mendirikan sekolah kepemimpinan politik dan hukum yang diberi nama "Jimly School of Law and Government" (JSLG) sambil terus mengabdi kepada negara melalui pelbagai jabatan.
Terakhir ia menjabat Ketua Dewan Kehormatan Pemilu (DKPP), Ketua Dewan Penasihat Komnas HAM, dan anggota Dewan Gelar dan Tanda Kehormatan (DGTK-RI). Pada pemilihan anggota legislatif tahun 2019, ia mendaftarkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Saya memang sangat terkesan dengan pikiran-pikiran Prof. Dr. Jimly, terutama saat membedah buku saya: "Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar" yang diterbitkan oleh Penerbit Grasindo, Jakarta, dua kali, pertama tahun 1998 dan 2008.
Pada waktu tahun 1998, tepatnya pada hari Jumat, 9 Oktober 1998, penerbitan pertama buku saya diselenggarakan bedah buku di FHUI Depok. Selain Prof. Dr. Jimly Assiddiqie, hadir pula Mantan Sekretaris Umum MPRS 1966, Abdul Kadir Besar dan Akademisi Maria Farida Indrati Suprapto.
Ketika diskusi duduk di satu meja inilah, saya menilai bahwa Prof. Jimly menguasai betul sejarah hukum. Sejarah itu menurut Jimly, ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, sejarah sebagai kronologis peristiwa-peristiwa dan sejarah sebagai sejarah. Benar bahwa kita harus bersikap obyektif mengenai kronologi fakta-fakta, ujar Jimly.
Tetapi, tegasnya, sejauh menyangkut keterlibatan pelaku-pelaku sejarah, ketika fakta-fakta itu ditulis, apalagi ketika dituturkan kembali, diceritakan kembali, ditulis di kemudian hari, atau dipahami di kemudian hari,lagi, itu jadi lain.
Menjadi sangat lain masalahnya. Fakta-fakta itu dipengaruhi berbagai kepentingan, berbagai opini sesuai batasan ruang dan waktu. Ini yang menjadi persoalan, yang sering menuntut kita untuk meluruskan sejarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H