Delapan tahun lamanya Ariel Sharon, mantan Perdana Menteri Israel itu mengalami koma dan tidak sadar hingga meninggal, 11 Januari 2014, memang tidak banyak yang berkomentar, terutama dari penduduk Palestiba, baik di pengungsian Libanon, Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Mungkin sebagian besar yang masih memujinya sebagai pahlawan adalah penduduk Israel, karena ia meninggal di Pusat Pengobatan Sheba, Israel waktu itu masih sedang menjabat Perdana Menteri Israel periode 7 Maret 2001-14 April 2006. Jelang mengakhiri jabatannya, Sharon dilarikan ke rumah sakit. Ia mengalami stroke, Januari 2006 dan terus koma selama delapan tahun, hinggal ajal pada 11 Januari 2014.
Apa yang dilakukan Sharon? Sebelum menjadi perdana menteri dan masih menjadi pertahanan, ia dituduh bertanggung jawab atas pembantaian warga Palestina di pengungsian Libanon, Sabra dan Shatila. Selama tiga hari, yaitu pada tanggal 16-18 September 1982, ada sekitar 3500 hingga 8000 warga Palestina tewas ditembaki pasukan Israel. Mereka yang dibunuh terdiri dari anak-anak, bayi, perempuan dan orang tua.
Di Tepi Barat dan Jalur Gaza, Sharon adalah penyokong utama mendirikan pemukiman baru untuk warga Israel. , sehingga pemukiman warga Palestina harus disingkirkan dan di tempat itulah berdiri rumah-rumah baru warga Israel. Menurut Sharon, setiap orang harus merebut seluas mungkin puncak Bukit Yudea untuk melebarkan dan memperluas pemukiman.
Memang ketika Sharon meninggal banyak warga Palestina kecewa, karena tidak sempat dihukum sebagai penjahat perang. Tetapi apakah jika ia hidup dapat juga diajukan ke Mahkamah Internasional. Saya menjawabnya tidak. Dukungan Amerika Serikat yang memiliki hak veto di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa selalu mendukung Israel. Apalagi Presiden AS Donald Trump secara terus terang mendukung Israel, bahkan telah menyatakan Jerusalem adalah ibu kota Israel.
Di Mahkamah Internasional pun sudah ada contoh. Tahun 2009, Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) memang terlihat menerima pengaduan dari 200 tuduhan laporan tuduhan kejahatan perang Israel. Waktu itu tiga minggu lamanya Israel melakukan agresi di Jalur Gaza. Tetapi laporan dari warga Palestina itu hanya sekedar laporan di atas kertas.
Pada saat inilah saya ingat ketika Presiden RI Soekarno berpidato di Sidang Majelis Umum PBB. Ada benarnya juga Soekarno menghendaki Markas PBB dipindah dari AS (New York) ke sebuah negara Dunia Ketiga agar bisa netral. Tetapi yang lebih urgen adalah hak veto.
Menurut saya, yang jadi masalah adalah hak veto. Sanksi PBB tidak bisa diberikan jika salah satu negara dari lima negara (AS, Rusia, Inggris, Prancis dan RRC) menyatakan vetonya yang biasa dilakukan AS jika Israel dikecam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H