Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H, namanya belakangan ini menjadi bahan perbincangan di tengah diskusi Islam dan Indonesia. Hal ini dikarenakan Yusril, sebagai tokoh Islam, akademis, Ketua Umum Partai Bulan Bintang, ia juga banyak dibicarakan tentang rencana pelepasan Abu Bakar Ba'asyir baru-baru ini.
Foto di atas itu adalah ketika saya sebagai editor montly journal "Diplomat Indonesia," bertemu di kantornya pada bulan Juli 2009. Dari tempat inilah, saya bisa menggambarkan sosok Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) itu. Kesan saya, menang figurnya sangat cerdas. Biasanya sosok seperti ini tidak pernah diam. Ia terus bergerak dan melakukan sesuatu.
Ketika saya juga pernah di FHUI, hampir saya lihat dari kejauhan, di ruangannya selalu membaca. Biasanya orang yang selalu banyak membaca, di samping memperoleh pengetahuan baru dan bijak, juga bisa membaca tanda-tanda zaman.
Karena tidak mau diam dan terus bergerak ini pula, Yusril banyak melakukan berbagai terobosan, seperti yang kita dengar dan saksikan saat Calon Presiden Jokowi-Ma'ruf mempercaya dirinya sebagai penasihat hukum. Ia banyak terlihat di Istana bersama Jokowi. Hingga kita mendengar ia berada di balik keinginan membebaskan Abu Bakar Ba'asyir.
Pemimpin Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sumohardjo, Jawa Tengah itu memang sudah tua. Ia sekarang berusia 80 tahun, menjelang 81 tahun. Tetapi tetap sehat di usia itu. Kalau sakit sangat wajar juga, namun demikian menurut informasi yang kita terima, ia menulis berbagai tulisan di dalam penjara. Tulisan inilah yang kemudian yang menjadi dasar kesimpulan sebahagian orang, ia tetap konsisten dengan sikapnya.
Abu Bakar Ba'asyir sejauh ini selalu dikaitkan dengan aksi teror. Ia dianggap berada di balik aksi tersebut. Menariknya ketika ia berada di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, Solo untuk berobat, ketika itulah ia dijemput polisi. Itu terjadi pada 28 Oktober 2002. Bentrokan antara polisi dan pengikut Abu Bakar Ba'asyir tidak terhindarkan. Banyak yang luka dan rumah sakit pun porak poranda.
Selain diduga, ia juga mendanai gerilyawan Mujahidin mengusir Uni Soviet (Rusia) dari Afghanistan, Abu Bakar Ba'asyir sehingga ia adalah juga Ketua Majelis Mujahidin Indonesia, cerita keterlibatannya di Aceh, termasuk memberatkan dirinya.
Peristiwanya berawal pada 22 Februari 2010. Waktu itu terjadi kontak senjata pertama di perbukitan Krueng Linteung, Desa Jalin, Kecamatan Jantho, Kabupaten Aceh Besar dan dari sinilah nama Abu Bakar Ba'asyir dikaitkan. Karena ini termasuk wilayah intelijen, maka ketika Presiden Jokowi membatalkan pelepasan Abu Bakar Ba'asyir, sudah tentu masukan dari intelijen menjadi bahan pertimbangan Jokowi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H