Pagi ini saya dikirimi sebuah cover majalah "TIME," oleh seorang teman tentang penderitaan rakyat Afghanistan. Lihatlah cover majalahnya. Seorang perempuan Afghanistan yang saya ketahui cantik-cantik, sekarang terlihat menyedihkan. Majalah ini ingin menggambarkan penderitaan rakyat di negara Asia Selatan yang berbatasan dengan Pakistan dan Iran itu.
Ketika Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) berkunjung ke Afghanistan beberapa waktu yang lalu, bangsa Indonesia ketar ketir dan cemas. Ada muncul pertanyaan, kenapa presiden kita mengunjungi negara konflik tersebut. Bukankah lebih baik mengunjungi negara yang stabil dan aman-aman saja dan minimal bisa membantu pembangunan di Indonesia.
Memang tidak semua kepala negara berpikiran demikian. Jokowi adalah kepala negara Indonesia kedua setelah Presiden Soekarno pernah mengunjungi Afghanistan. Bahkan kunjungan ini diikuti dengan kunjungan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. Ada niat dari Indonesia untuk menyelesaikan sengketa berlarut-larut di Afghanistan. Wakil Presiden Jusuf Kalla juga dianggap sebagai orang yang berhasil menyelesaikan konflik di Ambon dan Aceh. Jadi wajar apabila ia dianggap mampu me menyelesaikan sengketa di Afghanistan.
Kelompok Taliban yang berpaham Islam Sunni, sama dengan mayoritas penduduk Islam di Indonesia, memang menjadi batu sandungan buat pemerintah Afghanistan. Baru-baru ini pada hari Kamis, 18 Oktober 2018, Taliban mengaku telah melakukan serangan terhadap seorang tentara elite Afghanistan. Taliban merupakan pecahan kelompok Mujahidin yang terdiri dari kaum santri dan mahasiswa teologi tamatan Pakistan, sehingga memiliki hubungan emosional dengan tetangganya itu. Ketika Afghanistan dikuasai kelompok Taliban pada bulan September 1966, Pakistan merupakan negara pertama yang mengakui pemerintahan Taliban di Afghanistan.
Tetapi pemerintahan Taliban tidak lama. Pasukan Amerika Serikat berhasil menggulingkan pemerintahan itu. Kini negera itu tetap bergolak, karena Taliban masih ingin menguasai kembali Afghanistan. Minimal Taliban harus diikutsertakan dalam pemerintahan sekarang ini. Sama halnya dengan pemerintahan di Irak yang merupakan gabungan dari kelompok Sunni, Syiah dan Kurdi. Di Afghanistan, Islam Sunni 87 persen yang kebijakannya berkiblat ke Pakistan dan Muslim Syiah, 12 persen yang berkiblat ke wilayah perbatasan juga, Iran.
Wilayah Afghanistan ini merupakan daratan yang bergunung-gunung, sehingga sangat baik untuk melakukan perang gerilya. Kita tentu masih ingat perjuangan tentara kita mempertahankan eksistensi negara dengan memberi kuasa kepada Syafruddin Prawiranegara memimpin Pemerintahan Darurat RI. Itu dibentuk di daerah perbukitan di Sumatera Barat.
Sejarah Afghanistan sejak lama memang penuh dengan berbagai gejolak. Kalau dilihat dari sejarah negara itu, hanya di tahun 1747 hingga 1831 saja rakyatnya bisa bisa menikmati kedamaian, yaitu di masa Ahmad Shah Durrani menjadi shah (raja). Selanjutnya di tahun 1832-1842 terjadilah apa yang disebut Perang Afghanistan Pertama. Kemudian dilanjutkan dengan Perang Afghanistan Kedua di tahun 1878-1879. Kedua-duanyab dikarenakan ulah bangsa Inggris yang berkeinginan menguasai bangsa Afghanistan.
Setelah terjadi berbagai kudeta, pada tanggal 17 Juni 1973, ketika raja yang berkuasa saat itu, Mohammad Zahir melakukan kunjungan ke Italia, ipar laki-lakinya Perdana Menteri Mohammad Daoud menggulingkan pemerintah. Daoud adalah orang pertama yang memproklamirkan dan mengubah bentuk negara itu, dari kerajaan ke republik dengan dia sendiri sebagai presiden dan perdana menteri.
Peristiwa yang merubah peta politik Afghanistan selanjutnya adalah ketika pasukan Uni Soviet (sekarang Rusia) yang dilengkapi tank-tank dan pesawat tempur membantu pasukan Afghanistan di bawah pimpinan staf komando angkatan udaranya Kolonel Abdul Qader merebut kekuasaan. Akhirnya Presiden Daoud dan 30 anggotanya dihukum mati. Termasuk keluarganya.
Setelah pasukan Soviet menarik diri, kelompok Taliban menerintah. Pun terakhir digulingkan pemerintah Amerika Serikat. Berarti penderitaan rakyat terus terjadi di Afghanistan. Foto perempuan dari "TIME" itu mewakili korban lainnya di wilayah penuh sengketa itu. Indonesia harus tampil, sebagaimana tekad Wapres Jusuf Kalla ingin membantu perdamaian di wilayah tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H