Kamis, 26 Juli 2018, suasana di salah satu ruangan gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta itu agak berbeda dari hari-hari biasa. Ruangan penuh dengan para Cendekiawan LIPI yang ingin mendengarkan orasi pengukuhan tiga Profesor Riset di berbagai bidang. Pihak keluarga dan tamu undangan hadir di ruangan tersebut.
Tiga orang profesor riset itu adalah, pertama, Dr. Asvi Warman Adam menyampaikan orasi pengukuhan berjudul, "Dampak G30S: Setengah Abad Historiografi Gerakan 30 September 1965." Dr. Asvi Warman Adam lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, tanggal 8 Oktober 1954.
Kedua, Dr. Sarip Hidayat yang menyampaikan orasi pengukuhan berjudul: "Desentralisasi dalam Perspektif Relasi Negara dan Masyarakat: Mengurai Akar Persoalan dan Meretas Solusi Kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia."Dr.Sarip Hidayat, lahir di Kota Agung, Lampung, 27 Agustus 1964. Ketiga, Dr. Syachrumsyah Asri, orasi pengukuhan berjudul: "Kebijakan dan Strategi Pembangunan di Kawasan Perbatasan Kaltim dan Kaltara."Dr.Syachrumsyah Asri, lahir di Muara Pahu, Kab. Kutai Barat Kaltim, tanggal 18 Mei 1954.
Menurut Asvi, pelurusan sejarah itu tentu tidak luput dari kritik. Apakah, tanya Asvi, sejarah yang sudah dikoreksi itu pada suatu saat nanti juga akan dibengkokkan? Dalam hal ini, ujar Asvi, Anton de Baets menawarkan solusinya berupa kode etik sejarawan yang terdiri dari 20 pasal yang mencakup lingkup, implementasi, tugas utama (riset sejarah, penerbitan, dan pengajaran), pemilihan topik, seleksi informasi, akses informasi, metode objektif/kritis, dan evaluasi moral.
Pasal 10 kode etik, papar Asvi, menyangkut aspek yang sangat penting, yaitu integritas. Integritas menurut de Baets adalah landasan moral dari kerja sejarawan, sehingga mereka menentang penyalahgunaan sejarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H