Selasa, 17 Juli 2018, hari masih pagi. Saya menyelusuri jalan-jalan di kampus Universitas Indonesia (UI), Depok. Sudah tentu jalan atau simpangan serta lorong yang menuju ke Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI ini tidak begitu saja hilang dari ingatan saya, meski meninggalkan kampus ini sekitar 10 tahun yang lalu setelah menyelesaikan Magister Humaniora, Program Pascasarjana Ilmu Sejarah di fakultas tersebut, tepatnya 16 Januari 2007.
Guru Besar saya waktu itu, Prof.Dr.Susanto Zuhdi, sudah duduk di ruangannya menunggu kedatangan saya. Kami bersalaman akrab, karena jarang bertemu. Saya melihat sekitar ruangan, rak buku dan berbagai peralatan elektronik.
Ia berdiri dan memberikan sebuah buku berjudul : "Sejarah Buton yang Terabaikan (Labu Rope Labu Wana)," yang diterbitkan Penerbit Wedatama Widya Sastra tahun 2018. Buku ini terdiri dari 289 halaman dan tujuh bab.
Susanto lebih menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan "berlabuh buritan," adalah akhir dari proses panjang yang dialami Buton untuk melepaskan diri dari ancaman Ternate, sedangkan " berlabuh haluan," adalah akhir dari upaya untuk melepaskan diri dari ancaman Gowa.
Dengan kata lain, maksud yang terkandung pada ungkapan tersebut adalah "kondisi Buton yang sudah aman," ibarat sebuah perahu dengan tenang dapat menempatkan sauhnya, baik di bagian buritan maupun di haluan.
Buku ini merupakan edisi revisi. Bagaimanapun hasil penelitian Susanto Zuhdi ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi pengembangan Ilmu Sejarah di Indonesia. Belajar sejarah memang belajar masa lalu, tetapi pada hakekatnya belajar masa lalu sangat erat kaitan dengan masa kini. Tanpa belajar masa lalu (sejarah), sesuatu tidak akan mungkin mampu mengambil keputusan-keputusan yang bijak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H