Mantan Perdana Menteri (PM) Malaysia Najib Razak kini sedang diproses atas tuduhan korupsi di lembaga yudikatif negara itu. Tuduhan korupsi itu lebih mengarah ke pemberian dana oleh pemerintah Arab Saudi sekitar 700 juta dollar AS. Apakah benar atau tidak, biarkan pihak yudikatif Malaysia yang akan membuktikannya.
Lebih menariknya lagi, PM Malaysia Mahathir Mohamad baru-baru ini telah berkunjung ke Indonesia. Hal ini sekaligus memberi pesan secara tidak langsung bahwa kedua negara harus mencontohkan kepada dunia tentang akibat efek-efek negatif dari pembangunan bangsa di sebuah negara. Apalagi pada waktu yang tidak lama Indonesia pun akan menghadapi pemilihan Presiden baru, sehingga yang terjadi di Malaysia bisa menginspirasi Indonesia dalam hal memberantas korupsi.
Selama ini hubungan Indonesia-Malaysia berjalan dengan baik. Memang ada riak-riak kecil seperti sengketa beberapa pulau, terutama Pulau Sipadan dan Ligitan, tetapi hal itu dapat diatasi.
Bagi Indonesia, lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia merupakan hal menyakitkan, tetapi pemerintah Indonesia pun menyadari tidak pernah serius memperhatikan pulau-pulau yang berbatasan dengan negara-negara terangga, sehingga mudah dimanfaatkan negara lain.
![Sumber: bbc.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/07/05/me-5a209e5cb3f86c3a847effe2-5b3d6e42cf01b409e34e5975.jpg?t=o&v=770)
Malaysia dalam hal ini berbicara fakta, sementara Indonesia selalu berbicara mengenai sejarah, yaitu dengan menunjukkan peta masa lalu, tanpa melakukan tindakan pada masa kini. Begitu pula pergeseran beberapa "patok" perbatasan, juga menjadi masalah serius bagi Indonesia, sehingga Indonesia selalu dirugikan.
Harapan hubungan Malaysia-Indonesia lebih baik lagi ke depannya, tetap ada. Memang pada masa pemerintahan Presiden Soekarno terjadi konfrontasi. Kita masih ingat bagaimana Presiden Soekarno dalam rapat raksasa tanggal 3 Mei 1964 di Jakarta meneruakan Dua Komando Rakyat (Dwikora). Pertama, pertinggi ketahanan revolusi. Kedua, bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah dan Serawak untuk menghancurkan Malaysia.
Menurut pandangan Soekarno, pembentukan Federasi Malaysia akan menjadi alat Inggris (Barat) yang akan memantapkan kehadiran dan pengaruhnya di Asia Tenggara. Hal ini dilihat Soekarno sebagai neo-kolonialisme yang akan mengepung Indonesia.
Konfrontasi dengan Malaysia ini berimbas pada keberadaan Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), karena pada 1 Januari 1965, Presiden Soekarno menyatakan Indonesia keluar dari badan dunia tersebut.
Tetapi setelah terjadi peralihan kekuasaan di Indonesia, saat Soeharto muncul sebagai pemimpin baru pada tahun 1966, hubungan Indonesia-Malaysia terjalin kembali. Konfrontasi dengan Malaysia resmi berakhir dengan ditandatanganinya naskah hubungan Malaysia-Indonesia pada 11 Agustus 1966 di Jakarta. Naskah tersebut kemudian dikenal dengan nama "Jakarta Accord."
Isi perjanjian Malaysia-Indonesia terdiri dari empat pasal. Pertama, pemberian kesempatan kepada rakyat Sabah dan Serawak untuk secepat mungkin secara bebas dan demokratis menyatakan kembali kedudukan mereka dalam Malaysia. Kedua, janji kedua negara untuk membuka kembali hubungan diplomatik. Ketiga, penghentian permusuhan. Keempat, persetjuan berlaku sejak ditandatangani.