"Pertemuan khusus hari ini di Jerusalem dengan Yahya Cholil Staquf, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU). Saya sangat berbahagia menyaksikan negara-negara Arab dan banyak negara Muslim semakin dekat ke Israel," demikian tulisan Netanyahu di "twitter" nya.
Netanyahu hanya tahu bahwa Yahya adalah Sekjen PB NU, tetapi sebetulnya Yahya Cholil Staquf adalah juga Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sekarang ini. Mengapapa tidak disebut? Menurut pendapat saya, Indonesia sejak pemerintahan Presiden Soekarno tidak memiliki hubungan diplomatik, karena bangsa dan negara kita konsisten mendukung perjuangan bangsa Palestina agar bisa merdeka dan berdaulat penuh seperti negara-negara lainnya yang merdeka di dunia.
Pada tahun 1947, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengganti peranan Liga Bangsa-Bangsa (LBB), karena dianggap gagal melaksanakan tugasnya. Menurut, saya PBB malah lebih gagal lagi dengan memecah wilayah Palestina secara tidak adil.
Coba bayangkan, lihat peta di atas, PBB memecah wilayah Palestina yang luas itu menjadi tiga. Bahkan wilayah untuk penduduk Yahudi lebih luas dari penduduk Arab Palestina (Muslim dan Kristen). Kaum Yahudi mendapat 56 persen dari seluruh wilayah Palestina. Arab Palestina hanya memperoleh 42 persen. Dua persennya, termasuk kota tua Jerusalem, masuk dalam pengawasan internasional.
Adalah hal wajar apabila bangsa Arab lainnya di Irak, Mesir, Jorsania sangat marah. Beberapa kali pertempuran terjadi dengan Israel. Negara Yahudi ini selalu menang. Bahkan dalam keadaan tidak perang, pemerintah Israel menerapkan pembangunan pemukiman baru, bukan untuk warga Palestina, tetapi pemukiman baru untuk penduduk Yahudi. Banyak warga Yahudi pulang ke Israel, sebaliknya sejak 1948, penduduk Palestina yang banyak menjadi pengungsi. Tujuh puluh tahun jadi pengungsi, tetapi negara Palestina yang merdeka secara "de jure," belum terwujud.
Indonesia baru-baru ini terpilih sebagai Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan3 PBB). Prioritas utama menurut Presiden Jokowi dan Menlu RI, memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina. Memang untuk menyeksaikan perdamamaian di Palestina, Indonesia harus menjembataninya dengan Israel, sementara hingga hari ini tidak memiliki hubungan diplomatik.
Sebelum Sekjen PB NU ini, sudah pernah Indonesia heboh, karena Delegasi Majelis Ulama Indonesia (MUI), beranggotakan tujuh orang, bertemu dengan Presiden Israel Reuven Rivlin.
Ketika sekarang kita dipercaya menjadi Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB dan mengutamakan perdamaian Palestina dan Israel yang bermuara ke tujuan berdirinya Negara Palestina yang merdeka secara "de facto," dan "de jure," apakah kita sudah siap juga menerapkan kebijakan standar ganda yang sering dilakukan AS selama ini? Seperti dengan Republik Rakyat China, AS berhubungan baik. Tetapi dengan Taiwan, secara diam-diam pun menjalin hubungan baik.