Inilah suasana ketika diselenggarakannya pemberian "Bung Hatta Anti Corruption Award 2017," yang diselenggarakan baru-baru ini, pada hari Kamis, 14 Desember 2017 malam di Jakarta.
Pikiran saya menerawang ke figur seorang Bung Hatta, yang tenang dan sangat berhati-hati dalam berbicara. Banyak yang mengatakan Bung Hatta itu seorang teoritis yang suka membaca buku. Untuk sementara pendapat ini kita terima untuk bisa nanti membandingkannya dengan figur seorang Bung Karno, yang jika berbicara sangat bersemangat dan seseorang jika mendengarkan pidato Bung Karno rela berdiri atau duduk berjam-jam.
Singkatnya kedua tokoh ini memang ditakdirkan menjadi pasangan yang serasi dalam memimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kesetiaan dan hubungan mereka juga tidak diragukan lagi. Sebagai contoh, ketika pada tanggal 17 Agustus 1945 pagi, para pemuda mendesak agar Bung Karno membacakan Proklamasi, Bung Karno menolak membacakannya sebelum Bung Hatta datang.
Saya mengamati, hubungan Bung Karno dan Hatta sedikit terganggu ketika Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No X (baca huruf eks, bukan huruf Romawi no 10). Bung Karno setelah mengetahui hal itu, pikirannya sedikit terganggu dan ia menenangkan diri ke Pelabuhan Ratu). Menurut saya, inilah awal yang kalau saya boleh katakan, "tidak harmonis," dalam memimpin negara ini.
Hingga hari ini tidak seorangpun tahu, mengapa Bung Hatta mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden RI. Ia mengundurkan diri pada 1 Desember 1956, setelah diselenggarakannya Pemilihan Umum pertamakali di Indonesia tahun 1955.
Dalam Pemilihan Umum tahun 1955 itu, PKI memperoleh kemenangan yang urutannya masuk empat besar, setelah PNI, Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), dan Nahdlatul Ulama. Memang PKI pernah melakukan pemberontakan tahun 1948, tetapi kenapa tahun 1955, partai itu diterima kembali?
Inilah yang saya pikir, kemenangan PKI dalam Pemilu 1955 ini merisaukan Bung Hatta, sehingga harus mengundurkan diri dari pemerintahan. Tetapi apakah dengan mengundurkan diri, persoalan PKI selesai. Tidak. Bahkan dengan tidak adanya Bung Hatta, PKI berhasil masuk ke dalam pemerintahan. Berhasil mempengaruhi Bung Karno. Untuk itu Bung Karno pernah mengatakan bahwa PKI, suatu partai di Indonesia yang revolusioner.
Memang pada masa itu, pikiran-pikiran revolusioner di masa revolusi sangat dibutuhkan. Di sini pulalah dilematis seorang Bung Karno, di satu pihak tidak ada Wakil Presiden setelah Bung Hatta, di pihak lain PKI bebas mempengaruhi pikiran Bung Karno. Bagaimanapun seorang Wakil Presiden di sebuah negara sangat dibutuhkan. Ia akan menjadi penyeimbang dan bisa nemberikan masukan-masukan kepada seorang presiden.
Kembali ke masalah " Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) di atas. Kita kagum dengan para pendiri bangsa kita, yang kita jamin sangat jujur. Mereka hidup sederhana. Seorang sahabat saya bertanya. apa pernah Anda lihat foto Bung Karno sedang memakai baju kaos robek-robek? Itulah yang menyebabkan saya percaya tentang integritas para pendiri negara ini.
Saya sudah tentu kaget melihat di televisi, teman satu kuliah di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, tahun 1981/ 1982, Gamawan Fauzi yang sama-sama kita ketahui pernah menjabat Menteri Dalam Negeri dan sebelumnya Gubernur Sumbar, sebelumnya lagi Bupati Solok, diduga, sekali lagi diduga terlibat masalah KTP-el. Sebetulnya ia tahun 2004 telah menerima Bung Hatta Anti Corruption Award.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H