Buku "Bela Negara," yang ditulis oleh TB Hasanuddin dan diterbitkan RMBOOKS, tahun 2014 ini menarik dibaca menjelang bangsa Indonesia memperingati Hari Bela Negara tanggal 19 Desember 2017.
Memang tanggal 19 Desember telah ditetapkan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono (SBY) sebagai Hari Bela Negara melalui Keppres No 28 tahun 2006. Untuk tahun 2017 ini, Menteri Dalam Negeri telah mengirim radiogram tanggal 5 Desember 2017 agar seluruh Provinsi, Kabupaten/Kota seluruh Indonesia menyelenggarakan Hari Bela Negara secara serentak pada tanggal 19 Desember 2017.
Kembali ke buku Bela Negara setebal 130 halaman di atas, kita dibawa ke arah pemikiran, cintailah negara Anda, apalagi negara ini lahir dari kekuatan rakyat yang ikhlas mengorbankan nyawanya untuk bangsa dan negara. Kekuatan rakyat inilah yang kemudian melebur dalam Tentara Nasional Republik Indonesia (TNI) di mana namanya mengalami perubahan, berawal dari Badan Keamanan Rakyat dan seterusnya hingga ke TNI. Oleh karena itu kelahiran TNI tidak sama dengan angkatan bersenjata dari negara lain. Di Indonesia, kekuatan rakyatlah yang membentuk TNI.
Ada hal yang menarik di dalam buku ini, yaitu di halaman 119. Dikatakan bahwa wajib militer belum mendesak dan penting diterapkan dalam konteks Indonesia saat ini. Menurut saya dengan semakin panasnya situasi Timur Tengah, khususnya di wilayah Palestina, juga di Semenanjung Korea, hal ini perlu kita garisbawahi bahwa masalah bela negara ini sangat penting.
Adalah hal wajar, jika kita berbicara Bela Negara selalu dikaitkan dengan semangat para pejuang kita yang dimotori Syafruddin Prawiranegara di Sumatera Barat yang dahulu disebut Sumatera Tengah. Yang kita contoh semangat juangnya. Pada waktu itu di bulan November 1948, Menteri Kemakmuran RI, Syafruddin Prawiranegara sedang berada di Bukittinggi dalam rangka meninjau keadaan kemakmuran rakyat di Sunatera. Hal tidak terduga, siang hari tanggal 19 Desember 1948, Sumatera Barat, dahulu disebut Sumatera Tengah menjadi sedikit kacau. Pesawat-pesawat tempur Belanda membom Sumatera Barat dan Yogyakarta. Inilah yang kemudian disebut Agresi Militer II Belanda dan tanggal ini ditetapkan sebagai Hari Bela Negara.
Presiden Soekarno memahami hal ini. Ia tidak mau diajak Panglima Besar Jenderal Soedirman ikut berjuang masuk hutan. Ketika Jenderal Soedirman menemui Presiden Soekarno di Yogyakarta, Bung Karno berpesan kepada Jenderal Soedirman agar yang dilakukan melawan Belanda adalah dengan perang gerilya. Jika melakukan perang berhadap-hadapan, tentara kita tidak akan sanggup melawan Belanda dengan persenjataannya yang modern saat itu. Bung Karno menegaskan akan tetap di Yogyakarta dan membiarkan dirinya ditahan Belanda, agar bisa diajak berunding ke meja perundingan.Taktik dan strategi Bung Karno ini berhasil. Akhirnya Belanda mengajak berunding.
Kembali ke Sumatera Barat. Rombongan Menteri Kemakmuran RI tertahan di Padang dan sulit kembali ke Yogyakarta. Belanda sudah melakukan serangan di Bukittinggi. Syafruddin Prawiranegara dan rombongan, juga Gubernur Sumatera Tengah segera mengadakan rapat di Gedung Tamu Agung, tempat Wakil Presiden Mohamad Hatta, sekitar pukul 09.00 pagi.
Di saat-saat seperti inilah dengan ditangkapnya Presiden Soekarno dan beberapa menteri oleh Belanda, presiden sebelumnya telah membuat kawat khusus tentang penghibahan kekuasaan pusat kepada Syafruddin Prawiranegara agar membentuk Pemerintah Darurat RI (PDRI). Surat itu tidak sampai ke tangan Syafruddin Prawiranegara karena wilayah udara yang dilewati pesawat-pesawat tempur Belanda, tidak memungkinkan jalur udara tenang, sehingga lalu lintas udara terganggu.
Di sinilah peran Hidayat, seorang militer dan ayahnya Dewi Rais Abin, mertua Letjen TNI (Purn) Rais Abin, sangat menentukan agar Syafruddin Prawiranegara mengambil keputusan membentuk Penerintah Darurat RI. Sekaligus menepis anggapan bahwa dengan ditangkapnya pemimpin Indonesia Negara Indonesia dianggap bubar oleh pihak Belanda.
Saya dalam rangka ikut berkontribusi menyusun buku Pak Hidayat, pada hari Kamis, tanggal 20 Oktober 2016, berangkat ke Padang dan dari Padang menuju Halaban, di Payakumbuh, Sumatera Barat. Pada waktu masa perjuangan Syafruddin Prawiranegara pun berada di Halaban. Halaban itu lumayan jauh dari Payakumbuh. Letak di mana tempat Syafruddin dan rombongan melakukan pertemuan. Saya harus menaiki bukit untu ke sana. Disinilah berdiri sebuah tugu PDRI.
Besoknya pada 21 Oktober 2016, saya melanjutkan perjalanan ke Koto Tinggi, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota, di mana saya tiba di sebuah patung kemerdekaan di tengah pasar. Selanjutnya saya naik bukit dengan ojek.