Dua Tahun yang lalu, hari Rabu dan Kamis, tanggal 29 dan 30 November 2017, diselenggarakan Sarasehan Nasional di Universitas Pancasila. Foto di atas dari "DetikTravel," memang sudah cukup menggambarkan seorang Soekarno sedang menghabiskan waktunya merenung tentang filosofi kehidupan berbangsa dan bernegara yang kelak menjadi falsafah kehidupan bangsa Indonesia hingga sekarang ini. Itu terjadi tahun 1934-1938, ketika Bung Karno dibuang oleh penjajah Belanda ke Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Bung Karno terlihat duduk merenung di bawah pohon sukun yang bercabang lima. Di bawah pohon inilah kemudian lahir perenungan yang membuahkan hasil, berupa lima butir pemikiran yang kemudian menjadi falsafah kehidupan bangsa Indonesia yang digali dari budaya asli bangsa, yaitu Pancadila.
Pada tanggal 1 Juni 2013, Monumen Bung Karno di Ende ini diresmikan oleh Wakil Presiden RI Boediono. Sudah tentu monumen ini menjadi tapak sejarah bangsa yang selalu dikunjungi oleh generasi penerus bangsa. Apalagi dengan diselenggarakannya Sarasehan Nasional Pancasila di Universitas Pancasila oleh Pusat Studi Pancasila, akan lebih mempertajam pandangan kita tentang Pancasila yang dikaitkan dengan Internalisasi Nilai-nilai Luhur Bangsa dalam Era Milineal sekarang ini.
Ide-ide dasar yang menjadi bahan perenungan di bawah pohon sukun di Ende di atas itu, sudah tentu akan menjadi bahan renungan juga untuk para peserta sarasehan. Bagaimana pun bangsa ini mengucapkan rasa syukur dan terima kasihnya kepada seorang Bung Karno yang pada waktu itu sudah melakukan perenungan tentang dasar negara, sebelum Indonesia Merdeka.
Kemudian hasil perenungan di Ende itu dimunculkan Bung Karno dalam pidato tanpa teks selama satu jam di dalam sidang pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945.
Roeslan Abdulgani, yang pada waktu itu menjadi juru bicara Manipol/Usdek menceritakan bahwa pada suatu malam sebelum 1 Juni 1945, Bung Karno lebih dahulu memohon perunjuk Allah SWT, apa yang harus diucapkan sehubungan dengan masalah Dasar Negara dalam Sidang BPUPKI esok harinya.
Pada hari keempat sidang, Bung Karno memenuhi permintaan Ketua BPUPKI dengan menguraikan betapa pentingnya Indonesia merdeka dan sebagai dasarnya adalah Pancasila.
Tahun 1947, setelah Indonesia Merdeka, Dr Radjiman Wedyodiningrat, mantan Ketua BPUPKI memberi pengantar pada penerbitan pidato Bung Karno 1 Juni 1945 yang disebutnya sebagai lahirnya Pancasila.
Urutan awal Pancasila yang diucapkan Bung Karno pada 1 Juni 1945 itu adalah, Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Indonesia dan Ketuhanan.
Pidato ini dirumuskan oleh sembilan tokoh terpilih, yaitu Soekarno, Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrosuyoso, Abdul Kahar Muzakar, H Agus Salim, Ahmad Subardjo, KH Wahid Hasyim, dan Muhammad Takin pada 22 Juni 1945 yang rumusannya dinamakan Piagam Jakarta.
Urutan Pancasila dalam Piagam Jakarta, yaitu Ketuhanan dengan Kewajiban Menjakankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya, Kenanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.