Majalah Gatra edisi nomor 47 (21-27 September 2017), halaman 48-49 menampilkan berita tentang "Wisata Sunyi Kediaman Tan Malaka."
Buat seseorang yang belum pernah berkunjung ke rumah masa kecil Tan Malaka yang sudah dijadikan destinasi wisata sejak 2008, sudah tentu terkejut dan aneh mendengarnya. Tetapi bagi orang luar Pulau Sumatera yang pernah berkunjung ke daerah itu, hanya ke daerahnya, sudah tentu tidak terlalu kaget.
Misalnya saya yang tidak pernah menginjakkan kaki di sana, tetapi pernah ke wilayah itu, tidak terlalu kaget. Mengapa? Saya pernah ke wilayah lokasi rumah Tan Malaka itu pada 21 Oktober 2016. Meski hanya lewat untuk menuju Koto Tinggi, tetapi rumah Tan Malaka ini masuk ke wilayah administrasi Kabupaten Lima Puluh Kota. Sama dengan wilayah yang saya kunjungi, Koto Tinggi, Kecamatan Gunung Omeh, juga Kabupaten Lima Puluh Kota.
Beberapa waktu yang lalu, Perpustakaan Universitas Indonesia (UI), Rabu pagi, 5 April 2017 menyelenggarakan diskusi buku yang berjudul "Nilai Keindonesiaan," atas kerja sama Perpustakaan UI dengan Yayasan Suluh Nuswantara Bakti. Pembicara dalam diskusi, yaitu Prasetijono Widjojo MJ, Prof. Dr. Susanto Zuhdi dan wartawan harian Kompas, M Subhan SD.
Dalam menguraikan isi buku, Prof Dr Susanto Zuhdi, dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI, lebih menyoroti buku dalam Ilmu Sejarah. Pun disinggung masalah pemindahan tokoh nasional Tan Malaka ke Sumatera Barat dari Kediri, Jawa Timur.
Menurut Susanto Zuhdi, sesungguhnya tidak perlu memindahkan makam itu (Tan Malaka) dari Kediri ke Sumatera Barat. Bukankah banyak juga pahlawan nasional kita, seperti Pangeran Diponegoro yang lahir di Yogyakarta dan dimakamkan di Makassar? Banyak juga pahlawan nasional kita mengalami hal yang sama. Jadi tidak perlu dipindah.
Memang pernah terjadi protes dari masyarakat Minangkabau, kenapa Tan Malaka, putera Minangkabau, dimakamkan di pemakaman umum Desa Selopanggung, Kecamatan Senen, Kabupaten Kediri? Merespons protes tersebut, maka muncul ada niat memindahkan makam Tan Malaka ke Lembah Aia Sansang, Kabupaten Lima Puluh Kota.
Setelah rombongan dari Minangkabau itu tiba, di Desa Selopanggung juga muncul protes kepada Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota ke Nagari Pandam Gadang itu. Jalan tengah akhirnya ditempuh. Makam Tan Malaka tidak jadi dibongkar, hanya sebongkah tanah dari kubur aslinya yang dibawa ke Pandam Gadang. Meski hanya simbol, Pemerintah Lima Puluh Kota mengatakan, hal itu sudah memadai.
Memang yang menjadi permasalahan utama adalah Museum Tan Malaka yang tidak terawat itu. Apakah dikarenakan tidak ada perhatian dari pemerintah atau karena tidak ada orang yang ditunjuk untuk mengawasinya atau juga boleh jadi hampir seluruh penduduk Lima Puluh Kota disibukkan oleh pekerjaan sehari-hari?
Atau bisa juga dikaitkan dengan hubungan Tan Malaka dengan PKI. Meski ia menentang rencana revolusi rakyat pada 1926 dan memutuskan hubungan dengan PKI, tetapi bangsa Indonesia masih trauma dengan pemberontakan PKI tahun 1965.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H