Hari Minggu, 24 September 2017, TVOne menyiarkan wawancara dengan puteri Abdul Haris Nasution, Hendrianti Sahara Nasution. Menarik pembicaraannya tentang tragedi Gerakan 30 September 1965/ Partai Komunis Indonesia (PKI) yang didalangi oleh partai yang sudah terlarang itu.
Peristiwa kelam itu, sudah tentu perlu diketahui oleh generasi penerus bangsa ini agar jangan sampai terulang kembali.
Banyak pertanyaan yang diajukan, terutama apakah Presiden RI Soekarno terlibat di dalamnya. Banyak yang mengatakan bahwa Bung Karno sangat jelas terlibat di dalamnya. Tetapi ada sebuah buku yang ditulis Manai Sophiaan sebagaimana cover buku di atas berjudul "Kehormatan Bagi yang Berhak," dengan sub judul ditulis dengan jelas "Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI."
Manai Sophiaan adalah ayahnya Sophan Sophiaan, bintang film terkenal, suami dari Widyawati. Manai adalah tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) yang sangat loyal kepada Bung Karno. Ia adalah mantan anggota DPRGR dan mantan Duta Besar RI di Uni Soviet. Lahir di Takalar, Makassar, Sulawesi Selatan pada 5 September 1915 dan meninggal dunia di usia 87 tahun, karena penyakit Parkisin pada 29 Agustus 2003.
Ketika menjadi anggota Parlemen, waktu itu dikenal dengan Mosi Manai Sophiaan, di mana pada 16 Oktober 1952, Parlemen menyetujui mosi itu. Meminjam kalimat Herbert Feith, mosi ini kurang setuju dengan langkah militer berpolitik dan mencampuri kehidupan sipil.
Tetapi keterlibatan militer tidak dapat dielakan dengan lahirnya Orde Baru. Dari pucuk pimpinan hingga ke akar rumput, susunan pemerintahan di Indonesia diduduki para militer untuk membasmi PKI hingga ke akar-akarnya. Meski PKI sudah resmi dibubarkan pemerintahan Presiden Soeharto bukan berarti pengikut dan simpatisannya hilang begitu saja.
Di masa sistem politik Demokrasi Terpimpin, golongan militer tidak punya kesempatan lebih besar dalam kegiatan politik. Peranan militer semakin jelas terlihat ketika sedang membahas konsep Orde Baru di dalam Seminar Angkatan Darat II 1966 yang berlangsung di Graha Wiyata Yudha, Seskoad, Bandung, 25-31 Agustus 1966. Walau terdapat kalangan sipil, jumpahnya bisa dihitung dengan jari. Tujuan seminar pada waktu itu, adalah untuk mengoreksi total berbagai ketimpangan di masa Orde Lama. Jadi koreksi total adalah semangat Orde Baru.
Pada Sidang Istimewa yang berlangsung di Jakarta, pada tanggal 7-12 Maret 1967 melalui Ketetapan No. XXXIII/MPRS/67, MPRS menetapkan mencabut kekuasaan pemerintah negara dari Presiden Soekarno dan dengan ketetapan yang sama, MPRS mengangkat Pengemban Ketetapan MPRS No.IX /MPRS/66, Jenderal Soeharto sebagai pejabat Presiden.
Dalam hal ini, Robert Edward Elson di dalam bukunya: "Suharto Sebuah Biografi Politik," menjelaskan bahwa Soeharto mengatakan: " Untuk sementara waktu , kami akan memberlakukan beliau (Soekarno) sebagai presiden yang tidak berkuasa lagi, sebagai presiden yang tidak mempunyai kewenangan apa pun di bidang politik, kenegaraan dan pemerintahan."
Walaupun telah dilantik sebagai Pejabat Presiden, dalam susunan Kabinet Ampera yang Disempurnakan, Soeharto hanya mencantumkan namanya sebagai Pimpinan Kabinet, bukan sebagai Pejabat Presiden. Nama Soekarno sama sekali tidak tercantum dalam sudunan kabinet terakhir ini.
Pertanyaan selanjutnya, siapa yang menandatangani Surat Keputusan Pembentukan Kabinet Ampera yang Disempurnakan, karena pembentukan kabinet tersebut disebutkan berdasarkan Keputusan Presiden No.171 tahun 1967. Apakah di dalam berbagai peraturan dibolehkan seorang Pejabat Presiden mengatasnamakan Presiden untuk menandatangani sebuah Surat Keputusan atau sejauh manakah sahnya sebuah Surat Keputusan, apabila ditandatangani oleh Presiden yang kekuasaannya sudah dicopot?