[caption caption="Soekarno-Soeharto(Foto:Amanah Rakyat.Worpress.com)"][/caption]Seminar 50 Tahun Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) didiskusikan pada Sabtu, 13 Februari 2016 di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan. Hadir sebagai pembicara, Peter Kasenda, SS, Prof.Dr.Taufik Abdullah, Dr. Anhar Gonggong, dan Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri. Sebagai panelis Dr. Fuad Bawasir (Mantan Menkeu RI), Subiakto Tjakrawerdaya (Mantan Rektor Universitas Trilogi) dan saya sendiri Dasman Djamaluddin,SH, M. Hum (Penulis buku Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar).
Bagaimanapun saya sebagai panelis melihat bahwa memang benar pembangunan bangsa dan negara ini harus tetap dilanjutkan. Pikiran dan tenaga tidak harus dibuang percuma hanya untuk memikirkan gontok-gontokan di antara partai politik. Perjalanan bangsa ini harus berkesinambungan. Saya yakin tema yang diusung penyelenggara dari Focus Group Discussion seirama dengan apa yang saya paparkan.
Saya mencoba mengambil contoh ketika saya berkunjung ke Moskow Rusia, Desember 1992 yang diutus pendiri Harian Merdeka B.M. Diah. Di Lapangan Merah tersebut terdapat makam para pemimpin negara Rusia. Makamnya dikawal. Jadi sekedar untuk mengingatkan, bahwa rakyat Rusia sangat menghormati para pemimpin negaranya. Bangsa Indonesia jika ingin menjadi bangsa yang besar, bagaimanapun harus menghormati para pemimpin negaranya dari Presiden Soekarno hingga Presiden Joko Widodo sekarang ini.
[caption caption="Buku Jenderal TNI (ANM) Basoeki Rachmat (Dokumentasi Pribadi)"]
[caption caption="Dua Jenderal Besar (Foto: Dokumentasi)"]
Di acara ini hadir pula Mantan Menteri Koperasi Republik Indonesia, Subiakto Tjakrawerdaya, yang juga sudah sering bertemu saya di berbagai kesempatan yang lain. Banyak masukan untuk memberikan dokumen-dokumen bersejarah lainnya kepada panitia. Memang hal ini sangat kita harapkan agar sejarah tidak diputarbalikkan. Terungkap juga dari Subiakto Tjakrawerdaya bahwa sebenarnya ada surat pertanggungjawaban dari Jenderal Soeharto kepada Presiden Soekarno tentang Supersemar. Hal ini sangat baik untuk pembelajaran sejarah bangsa Indonesia.
Prof. Dr. Taufik Abdullah, Sejarawan, dalam pemaparan sebelumnya memang memaparkan bahwa ada sesuatu yang aneh dari Supersemar, karena tidak mempelajari rentetan pidato Presiden Soekarno yang hampir tanpa henti mengatakan betapa perintahnya telah disalahgunakan. Dengan kata lain, Presiden Soekarno membenarkan bahwa teks perintahnya itu benar... tetapi diterjemahkan sesuai dengan hasrat politik sang pelaksana tugas. Dalam situasi ini Sang Presiden tidak pernah lupa mengingatkan bangsa dan bahkan juga tamu-tamu asing, termasuk tamu pribadi yang datang ke rumahnya (seperti Cindy Adans, yang mengisahkan kemarahan Bung Karno dalam buku yang ditulisnya tidak lama kemudian, My Friend, the Dictator) bahwa ia adalah Presiden dan Perdana Menteri dari Republik Indonesia.
Taufik Abdullah menambahkan, begitulah sejak Supersemar ini dilaksanakan sesuai dengan interpretasi Soeharto, kedudukan Bung Karno semakin terpencil saja. Nasib Presiden Soekarno telah berada di tepi jurang politik yang curam. Akhirnya pada 12 Maret 1967, Soekarno, Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, tetapi lebih suka memperkenalkan dirinya Pemimpin Besar Revolusi dan membanggakan dirinya sebagai Penyambung Lidah Rakyat, meletakkan jabatan.
Dijelaskan oleh Taufik Abdullah, Supersemar adalah drama sejarah yang tidak terlupakan. Supersemar adalah awal dari episode baru dari sejarah kontemporer bangsa. Duka cerita yang dipenuhi oleh kisah tentang ratusan ribu pembunuhan dan penangkapan anak bangsa, karena ideologisasi politik yang kebablasan, menjadi kenangan historis yang pahit.
Makalah Taufik Abdullah ini mengingatkan saya akan mudahnya bangsa ini menghilangkan doumen sejarah. Bangsa ini sudah terbiasa menghilangkan dokumen sejarah. Majalah TEMPO, 28 Juli 2002 mengungkapkan penghilangan dokumen tentang aktivitas parlemen Indonesia sejak era Konstituante hingga MPRS. Laporan MPRS 1966-1972 juga tidak kita temukan lagi. Pada tahun 1972, pemerintah melarang peredaran buku tersebut dan buku yang berhasil ditemukan dibakar.
Di dalam majalah tersebut terungkap pula bahwa Sekretaris Umum MPRS, Abdul Kadir Besar dan sejumlah pengurus lainnya, termasuk pengelola Percetakan Sliwinagi sempat diinterogasi. Tudingan yang dilontarkan membocorkan rahasia negara. Begitu pula Ketua MPRS A.H. Nasution dicekal dari tahun 1972-1993. Sejak itu penjagaan dan fasilitas ditarik. Bahkan air PAM di rumah dicabut.