[caption caption="Makam Kepala Negara di Lapangan Merah (Slide:Dasman Djamaluddin)"][/caption]Sebuah majalah perjalanan Traveller, edisi Januari 2016 menarik perhatian saya. Cover majalah tersebut berjudul "Moskow Kini", menginspirasi saya untuk menulis perjalanan saya ke negara yang diberi julukan berbagai nama, Beruang Merah dan Tirai Besi.
Jika di majalah tersebut penulisnya Jeffrey Tayler mengisahkan perjalanannya dengan baik, memang demikianlah situasi dan kondisi kota Moskow sekarang ini. Apalagi penulisnya telah menetap selama 22 tahun di Moskow. Hal itu sudah tentu berbeda dengan saya yang hanya pada bulan Desember 1992 itu saja ke Moskow. Tetapi meskipun demikian, banyak hal yang kita lihat dan pelajari dari kota Moskow, yaitu bangsa Rusia menjadikan sejarah sebagai ujung tombak perjalanan bangsanya, sehingga bisa maju.
Tanggal 22 Desember 1992 itu, udara kota Moskow sangat dingin. Salju mulai turun. Saya hadir di sana saat-saat negara itu sedang dalam peralihan. Mikhail Gorbachev yang disebut-sebut sebagai tokoh pembaruan Uni Soviet (nama Rusia waktu itu), ketika itu tidak lagi berada di kantornya. Peralihan kekuasaan secara damai sedang berlangsung di sana.
Sudah tentu keadaan masyarakat juga sedikit terganggu. Ada di antara mereka acuh tak acuh dengan pembaruan yang dikumandangkan Gorbachev. Yang jelas, sejak dikumandangkannya pembaruan di Uni Soviet, rakyat terjebak ke arah perbedaan pendapat. Di berbagai kota di Moskow, saya menyaksikan dari dekat banyaknya para pengemis dan kaki lima-kaki lima penjual pakaian bekas. Menyedihkan.
[caption caption="Vladimi Putin (Halaman Putin di Twitter)"]
Terpulihnya Putin sangat tepat bagi Rusia. Mikhail Gorbachev ketika bertemu dengan Putin pada bulan Agustus 2000 memastikan dia tidak akan merusak Demokrasi Rusia. Begitu pula Boris Yeltsin menyatakan Putin kepada seluruh rakyat Rusia bahwa "Dia dapat mengulangi kejayaan Rusia yang baru pada abad 21".
Kembali ke kisah perjalanan saya.Tiga malam, saya di Moskow dan menginap di rumah koresponden Harian Merdeka, Svet Zakharov, warga negara Rusia yang fasih berbahasa Indonesia. Hari Minggu, 13 Desember 1992, saya dengan diantar Svet Zakharov ke Bandara Moskow. Udara dingin disertai salju yang turun tidak mematahkan semangat saya menuju Baghdad, ibu kota Irak. Saya ke Baghdad dulu dan kemudian kembali lagi ke Moskow. Itulah rute perjalanan yang telah digariskan atas kerja sama Harian Merdeka dengan Perusahaan Penerbangan Uni Soviet, Aeroflot.
Sebagai catatan, perusahaan penerbangan Uni Soviet (Rusia) Aeroflot ini tidak lama bertahan di Indonesia, karena tahun 1980, Bakin dipimpin Jenderal L.B.Moerdani berhasil membekuk kegiatan agen intelijen Rusia yang sedang beraksi di Indonesia. Agen Intelijen Rusia (KGB) itu bernama Alexander Pavlovich Finenko (36 tahun) yang juga manajer perwakilan Perusahaan Penerbangan Aeroflot yang beroperasi di Indonesia. Perusahan penerbangan itu ditutup.
Setelah dari Baghdad, saya kembali menuju Moskow. Kali ini Svet Zakharov mengantar saya berjalan-jalan ke Katedral Saint Basil yang terletak di Lapangan Merah. Lapangan Merah di sini bukan berarati merah dalam arti kata sebenarnya, tetapi mengacu kepada “merah” dalam bahasa Rusia yaitu indah.
[caption caption="Latedral Saint Basil (Foto:Dasman Djamaluddin/1992)"]
Memang Katedral Saint Basil ini indah sekali. Lihatlah arsitek bangunannya. Menara-menara kathedral ini memiliki karakter yang unik. Dibangun saat Ivan the Terrible berkuasa pada abad ke-15. Menurut Svet Zakharov yang selalu setia mendampingi selama di Moskow, arsiteknya , Postnik Yakoviev, sengaja dibutakan atas perintah Ivan untuk mencegah dia membangun kathedral yang lebih indah dari Saint Basil. Kathedral ini juga melambangkan keberhasilan Ivan melawan Tartar Mongolia pada tahun 1552 dalam pengepungan kota Kazan.
Di masa Kekaisaran Perancis, Napoleon menyerbu Rusia dan menguasai Moskow pada tahun 1812, ia pernah memerintahkan agar katedral tersebut dipindahkan ke Paris, tetapi tidak ada teknolgi yang memadai untuk memindahkannya. Diambil jalan pintas dengan meledakkan pakai mesiu.Keinginan Napoleon tidak tercapai, karena hujan turun.