[caption caption="Presiden Soekarno ke AS (Dokumentasi)"][/caption]
Gaduhnya permasalahan mengenai PT.Freeport, sebuah perusahaan milik Amerika Serikat (AS) di Papua mengingatkan saya akan nama Presiden AS ke-35 John Fitzgerald Kennedy. Meski ia tewas ditembak pada November 1963, di usia yang boleh dikatakan muda, yaitu 46 tahun dan tidak terlalu lama menjabat sebagai Presiden negara adidaya itu, --Januari 1961- November 1963--, tetapi yang kita kenang adalah jasanya menekan Belanda agar mau berunding dengan Indonesia tentang Papua.
Sikap Kennedy ini berbeda dengan presiden AS terdahulu yang selalu membela Belanda. Hal ini lumrah, karena Belanda dan AS sama-sama anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Bahkan jika terjadi penyerangan ke salah satu anggota, anggota lain merasa wajib membela.
Pada waktu ini Presiden AS Kennedy berusaha keras meyakinkan rakyat Amerika Serikat, bahwa apa yang dilakukan Indonesia dalam hal membebaskan Irian Barat (nama lama dari Papua), perlu didukung. Berkali-kali terjadi pembicaraan antara Presiden Republik Indonesia Soekarno dan Presiden AS Kennedy, hingga diserahkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa, presiden kita (Soekarno) selalu disambut hangat, ramah dan bersahabat jika berkunjung ke AS.
Keseriusan Kennedy dalam menyelesaikan masalah Irian Barat dapat dilihat dengan mengirimkan adiknya, yaitu Jaksa Agung Robert Kennedy ke Indonesia dan juga ke Belanda pada bulan Februari 1962. Di samping itu, persaiangan di antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, di mana Uni Soviet sudah mengirim senjata dan sudah diterima oleh TNI, membuat AS juga berpikir agar masalah Irian Barat cepat selesai. AS juga cemas, seandainya Uni Soviet yang masuk ke Indonesia.
Kennedy ditembak pada November 1963. Pada waktu upacara penandatangan persetujuan antara Indonesia dan Belanda yang diprakarsai Sekjen PBB U Thant, 15 Agustus 1962 di New York, Kennedy masih bisa menyaksikan peristiwa itu. Begitu pula ketika pada 1 Mei 1963, UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority), Badan Otoritas Eksekutif PBB yang menjalankan kekuasaan sementara di Irian Barat menyerahkan kekuasaan itu kepada Presiden RI Soekarno.
Tetapi harus diingat, penyerahan ini baru secara de facto. Bagaimana pun hasilnya sungguh menggembirakan seluruh bangsa Indonesia. Waktu ini Indonesia belum melaksanakan satu syarat lagi, agar diakui secara de jure, yaitu melaksanakan jajak pendapat di Irian Barat.
Ternyata pelaksanaan jajak pendapat ini tertunda karena Januari 1965, Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebelumnya Indonesiasecara resmi menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang ke-60 pada tanggal 28 September 1950, sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB tentang “penerimaan Republik Indonesia untuk keanggotaan di Perserikatan Bangsa-Bangsa”.
Pada 28 September 1966, Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Seperti kita ketahui pada 11 Maret 1966 telah diserahkan sebuah surat oleh Presiden Soekarno kepada Soeharto, bernama Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Lebih penting adalah dengan dibubarkannya Partai Komunis Indones (PKI), pada 12 Maret 1966,Indonesia seakan-akan ingin mengatakan, bahwa bangsa Indonesia seirama dengan AS yang tidak menginginkan adanya komunis di Indonesia.
[caption caption="Presiden Soeharto (Smiling General/Arsip)"]
Pertanyaan yang muncul bukankahPresiden Soekarno masih berkuasa di tahun 1966 tersebut? Memang benar peralihan kekuasaan resmi berlangsung pada tahun 1968, tetapi sejak dikeluarkannya Supersemar, kekuasaan Soekarno sudah selesai. Coba kita baca buku Lambert J.Giebels, Pembantaian yang Ditutup-tutupi (Jakarta, PT.Grasindo, 2005) halaman 233. Bagaimana pada tanggal 19 Februari 1967, dua orang staf televisi Belanda, Aad van den Heuvel dan Ed van Westerloo bertemu Presiden Soekarno di Istana Merdeka bercerita tentang kegelisahan seorang Soekarno. Mereka menyatakan: