[caption caption="Tanda Kehormatan (Arsip)"][/caption]
Pada tanggal 1 Desember 2015, saya menerima kiriman melalui media sosial tentang sebuah Surat Piagam Tanda Kehormatan dari Presiden RI Joko Widodo yang ditujukan kepada almarhum Abdul Latief Hendraningrat. Pengirimnya tak lain adalah cucu beliau, Arif Wicaksono Hendraningrat.
Saya menyambut baik kiriman Piagam Tanda Kehormatan itu. Itu data otentik. Memang benar, itu adalah data otentik yang dikeluarkan oleh Presiden RI. Tetapi berbicara mengenai, siapa pengibar bendera pusaka tanggal 17 Agustus 1945, apakah Abdul Latief Hendraningrat, Ilyas Karim atau Suprijadi, di mana kedua orang terakhir ini mengaku pula sebagai pengibar bendera, saya sendiri masih bertanya-tanya. Selama para pengklaim pengibar bendera pusaka belum duduk di satu meja, atau keluarga mereka, karena berkemungkinan pelaku sejarah itu sudah meninggal dunia, maka sulit bagi saya, mengakuinya. Bagaimana tidak?
Karena ada tiga pelaku sejarah yang mengklaimnya. Selain Abdul Latief Hendraningrat, maka Ilyas Karim, juga mengaku bahwa dirinyalah yang mengerek bendera tersebut. Informasi itu saya peroleh ketika pada hari Sabtu sore sekitar pukul 17 WIB, tanggal 3 September 2011, saya menemui Ilyas Karim di rumahnya Jalan Rajawati Barat Kalibata no.7 Jakarta Selatan (alamat lama, karena sekarang saya tidak mengetahui di mana alamatnya setelah terjadi penggusuran) .
Ilyas Karim selalu mengatakan, “saya tidak berdusta. Sayalah pengibar bendera itu.” Ia pun memberi data pribadi mana dinyatakan bahwa ia juga berasal dari militer. “Di militer itu tidak diajarkan berdusta,” ujar Ilyas Karim. Usianya tahun 2011 itu sudah tidak muda lagi, 84 tahun akunya. Lahir di Batu Sangkar, Sumatera Barat.
.
Sebegitu pentingkah orang ini ?, tanya saya dalam hati. Rupanya Ilyas Karim sedang dilanda hujatan karena mengaku sebagai orang yang berpakaian putih-putih pada waktu mengibarkan bendera Merah Putih pertama kali pada tanggal 17 Agustus 1945. Bahkan mengibarkan bendera itu bersama chudancho Singgih. Hal ini sudah tentu bertolak belakang dengan pendapat beberapa orang atau sumber yang mengatakan kedua orang itu adalah chudanco Abdul Latief Hendraningrat dan Soehoed dari Barisan Pelopor.
[caption caption="Ilyas Karim (Dokumentasi)"][/caption]
Saya pun membaca riwayat hidup Ilyas Karim. Tertulis bahwa ia adalah Pejuang 45. Sejak tahun 1936, ia sekeluarga pindah ke Jakarta. Ayahnya pernah menjabat Demang (Camat) Matraman, Jakarta, namun di Zaman Jepang, ayahnya ditangkap, dibawa ke Tegal dan dibunuh Jepang di sana. Sebelum bulan Agustus 1945, Ilyas Karim bergabung dengan Angkatan Pemuda Islam (API) yang bermarkas di Jalan Menteng 31 Jakarta. Masuk TNI-AD dan pensiun dengan pangkat Letnan Kolonel.
Selama di militer, pernah ditugaskan sebagai Pasukan Perdamaian di Lebanon dan Vietnam. Beliau sekarang adalah juga Ketua Umum Yayasan Pejuang Siliwangi-Indonesia (YAPSI) yang bermarkas di Komplek Kodam Jaya Jatiwaringin. Mudah-mudahan data ini tidak ada yang berubah, karena diberikannya kepada saya pada tahun 2011. Oleh karena itu, melihat perjuangannya selama ini, saya belum menyimpulkan apakah yang dikatakan Ilyas Karim benar atau salah. Saya hanya melihat dari sisi sumber pertama yang masih hidup. Sejarahlah nanti yang bisa membuktikan siapa pengibar bendera Merah Putih sebenarnya.
Inilah sejarah yang juga tidak bisa disalahkan, karena sejak awal tidak tertulis jelas, siapa-siapa orang yang mengerek bendera tersebut. Jika namanya jelas, tidak banyak yang mengklaim dirinyalah yang berada di sana saat itu.
Sebelumnya, saya juga menerima paket berupa foto copy sebuah buku:"Mencari Supriyadi, Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno," yang ditulis oleh Baskara T.Wardaya,SJ dan ditambah dengan tulisan Penelaah Ahli Asvi Warman Adam. Dikirim dari teman saya Alumni SMA Negeri Blora, Suwito Hadiatmojo.
[caption caption="Buku Suprijadi (Perpustakaan)"][/caption]