Baskara adalah lulusan Sekolah Tinggi Filsafat "Driyarkara" Jakarta. Tahun 2001 dia memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu Sejarah di Marquette University, Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat. Buku ini diterbitkan tahun 2008 oleh Penerbit Galang Press, Yogyakarta. Isinya menjungkirbalikkan tesis yang selama ini kita yakini.
Tentang hal ini, saya kutip pada halaman 85, di mana Supriyadi mengatakan: " Saya diminta mengibarkan bendera itu. Karena waktu itu saya tidak mempuyai celana panjang, ya,saya mengenakan celana pendek saja. Kalau Anda melihat foto resmi pengibaran bendera saat Proklamasi, saya adalah pemuda yang bercelana pendek yang sedang mengibarkan bendera, dalam posisi membelakangi kamera." Diberi rujukan untuk membaca buku "30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949" (Jakarta:PT.Citra Lamtoro Gung Persada, Cetakan Ketujuh, 1986), halaman 21.
Pernyataan Supriyadi ini dilengkapi dari foto Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) pada halaman 88. Captionnya: Indonesia merdeka! Sang Saka Merah Putih dikibarkan Supriyadi (membelakangi kamera, bercelana pendek) menjadi saksi pengibaran bendera pusaka untuk kali yang pertama.
Tentang naskah proklamasi, halaman 81, Supriyadi mengatakan:" Naskah Proklamasi ditulis di rumah Bung Karno, di Jln.Pegangsaan Timur sekembali Bung Karno dari Rengasdengklok itu. Waktu itu ada sekitar sepuluhan orang di rumah Bung Karno, termasuk Bung Sukarni, Bung Sayuti Melik....dst. Berarti tidak di rumah Maeda.
Sebagai seorang ilmuwan, data dari mana pun asalnya, sejauh bisa membuktikannya, dipersilahkan untuk membuktikannya. Semuanya harus diuji karena masih ada pihak lain yang mengatakan merekalah yang benar. Seperti Ilyas Karim dan Andaryono (d.a.Supriyadi) yang saat itu menyamar dan tinggal di rumah Bung Karno (dikutip dari Buku Mencari Supriyadi, 2008, hal.85). Kedua tokoh ini mengakui hal yang sama dengan Abdul Latif Hendraningrat. Inilah latar belakang mengapa saya mengusulkan ada suatu dialog atau seminar nasional untuk mempertemukan ketiga pihak ini.
Jika yang sudah meninggal sudah tentu diwakili keluarga masing-masing. Hasil diskusi boleh dianggap sebagai data otentik. Inilah resiko yang ditanggung, bila bangsa ini tidak rapi menyimpan arsip bahkan biasanya arsip-arsip ini kita temukan di luar negeri.Selama kita masih sembrono mengarsipkan peristiwa-peristiwa bersejarah, biarkan mereka masing masing bebas mengklaim. Jangan ada saling kecam dan mengatakan merekalah yang paling benar.
Asvi Warman Adam di dalam sebuah harian ibu kota pernah mengatakan,......pengendalian sejarah tergantung pada "dapur" tempat sejarah itu diolah: siapa sejarawannya, di lembaga mana dia bekerja.Makin independen lembaga/pribadi yang menulis, makin otonom hasil karyanya. Untuk ini saya sependapat dengan Asvi. Sejarah yang dibuat oleh seorang militer, atau pegawai negeri sudah tentu berbeda dengan yang dibuat oleh seorang ilmuwan dari sebuah perguruan tinggi yang independen.
Tulisan sejarah tidak ada yang betul-betul sempurna, dan juga betul-betul lurus. Itulah yang dikatakan Dr.Alfian, salah seorang sejarawan Indonesia yang terkenal pada masanya. Diakui bahwa ahli sejarah tentu berusaha keras untuk bersikap obyektif dalam menulis karyanya. Sungguh pun begitu, jauh di lubuk hati dan alam pikirannya, mereka mengetahui betul bahwa adalah mustahil bagi siapa saja, betapapun pintar dan ahlinya, untuk menghasilkan tulisan sejarah yang dapat dikatakan betul-betul obyektif dan sempurna.
Sebuah tulisan sejarah, tegas Alfian, memang dapat dikatakan, ditinjau dari segi mutu dan sebagainya, lebih obyektif dan lebih sempurna dari karya-karya lainnya. Tetapi tulisan tersebut tidaklah dapat dikatakan sebagai sesuatu yang final atau sebuah karya tanpa kelemahan dan kekurangan sama sekali. Di samping banyak tulisan sejarah yang buruk dan tidak bermutu, biasanya ada sejumlah karya yang dinilai baik dan berkualitas tinggi.
"Itulah antara lain sebabnya mengapa sejarah merupakan salah satu bidang studi bagaikan sumur penelitian yang tak pernah kering atau lahan pengkajian yang tak pernah habis. Dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi, berbagai ahli datang menimba atau menggarapnya, dan dari situ lahir karya-karya sejarah baru memperkaya khasanah yang sudah ada yang terus membesar," ujar Alfian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H