[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Serangkaian serangan bom mengguncang Baghdad, Irak, Selasa (3/9/2013). Rangkaian serangan ini dikhawatirkan mengembalikan situasi pada 2006-2007. (SABAH ARAR / AFP)"][/caption] Irak awalnya adalah negara yang bersahabat baik dengan Amerika Serikat. Kedua negara ini saling tergantung. Tetapi ketergantungan Negara Paman Sam itu sangat besar kepada Irak, yaitu ketergantungan minyak, karena Irak memiliki sumber minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi. Minyak memang masih merupakan sumber energi pokok bagi peradaban industrial Abad XX sekarang ini. Tanpa minyak, industri Barat akan ambruk. Enam puluh persen dari cadangan minyak dunia terdapat di kawasan Teluk dan lebih dari 40 persen keperluan dunia industri Barat, termasuk Jepang, datang dari Kawasan Teluk. Ini tidak boleh diganggu oleh siapa pun. Status Quo yang berpuluh-puluh tahun ada di sana yakni terbentuknya suatu keseimbangan yang relatif stabil antara posisi politik para raja dan emirat di sana dengan kepentingan modal maskapai minyak internasional, harus dijaga. Itulah sebabnya ketika terjadi Perang Irak-Iran selama delapan tahun yang dimulai tahun 1974, Amerika Serikat banyak membantu Irak. Persenjataan Irak waktu itu betul-betul canggih. Boleh jadi banyak memperoleh bantuan dari Negara Paman Sam itu. Puncak renggangnya hubungan Irak-Amerika Serikat dimulai ketika Irak memasuki Kuwait, 2 Agustus 1990. Sejak itu pula Amerika Serikat berangsur-angsur mengirim dan menempatkan pasukan di Arab Saudi. Ada sekitar 450 ribu tentara ditempatkan di sana, termasuk mendatangkan kapal induknya Independence yang membawa lebih dari 70 pesawat tempur. Pada waktu ini pula saya sering mendengar hujatan-hujatan Pemerintah Irak melalui Kedubesnya di Jakarta kepada Amerika Serikat. Saya mendengarnya sendiri dari orang istimewa Presiden Irak Saddam Hussein yang mendudukan wakilnya di Indonesia, sebagai Duta Besar, yaitu Dr.Sa'doon al-Zubaydi, dan pernah menjadi penterjemah Saddam bertahun-tahun, lulusan bahasa Inggris di Universitas Cambridge. Pada waktu itu saya adalah desk luar negeri Harian Merdeka yang didirikan B.M.Diah. Visi Harian Merdeka yang membela negara-negara Dunia Ketiga sesuai dengan apa yang dikemukakan Ridwan Saidi di dalam buku saya:" Butir-Butir Padi B.M.Diah (Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman) (Jakarta:Pustaka Merdeka, 1992) halaman 348 : "Harian Merdeka boleh dikatakan nyaris sebagai surat kabar yang menyendiri semasa Perang Teluk berkecamuk. Harian Merdeka lain dari yang lain. Surat kabar yang dipimpin B.M.Diah mencoba untuk tetap menyulut harga diri Dunia Ketiga vis a vis negara Adidaya." Terakhir sekali kita mendengar bahwa penyerangan Amerika Serikat ke Irak adalah kebencian George Bush kepada Saddam Hussein. Hal ini terungkap dari laporan Jeremy Greenstock, mantan Duta Besar Inggris untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa periode 1998 sampai Juli 2003 seusai memberikan kesaksian tertulis pada sidang penyelidikan peran Inggris soal invasi ke Irak, 27 November 2009 sore di London. “Amerika Serikat bertindak gegabah (hell bent) dalam mempersiapkan invasi ke Irak. Bahkan, AS amat gencar menghalangi Inggris yang mencoba mendapatkan izin internasional menjelang invasi,” ujar Jeremy Greenstock. Greenstock juga menegaskan, Presiden AS George W Bush sama sekali tidak berniat mendapatkan sebuah mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai pendukung invasi. “Niat menginvasi Irak sudah dilakukan secara serius sejak awal 2002 dan bisa dikatakan tidak terhentikan. Bush gencar berkampanye bahwa Presiden Irak Saddam Hussein adalah sahabat Osama Bin Laden. Pada kenyataannya malah keluarga Bush pernah menjalin hubungan dengan Osama Bin Laden,” tegas Greenstock. “Saat para diplomat dunia gencar mendapatkan mandat PBB pada awal 2003 untuk izin invasi ke Irak, orang-orang dekat Bush bahkan mempertanyakan mengapa untuk urusan invasi saja berbagai hal yang dianggap sebagai tetek bengek harus didalami. Bahkan Washington menggerutu. Di antara gerutu itu adalah celoteh AS soal upaya yang dianggap hanya buang-buang waktu. Kita memerlukan perubahan rezim, mengapa kita harus terpaku pada upaya ini, kita harus mengabaikan itu dan segera melakukan apa yang sudah direncanakan,” kata Greenstock mengenang gerutu orang-orang dekat Bush itu. Lanjut Greenstock lagi, menjelang invasi, beberapa negara termasuk Jerman, Perancis dan Kanada, masih berharap invasi AS itu bisa digagalkan. Bahkan orang-orang dekat Bush sudah sangat tidak acuh pada opini dan upaya internasional. Bahkan, Tony Blair (Perdana Menteri Inggris waktu itu) sudah tidak bisa menghentikan niat Bush. Hanya dalam dua minggu Blair mampu meyakinkan Bush. Momentum rencana Invasi AS sudah matang, jauh sebelum invasi. Ini sudah sulit dibendung. Saya sudah memperingati bahaya invasi jika tidak memiliki legitimasi. Bahkan saya pernah mengancam mundur dari jabatan saya jika izin internasional tidak didapatkan menjelang invasi,” ujar Greenstock yang memang tidak lagi menjabat sebagai Duta Besar pada 2003, tahun invasi ke Irak. Dari laporan itu pun terungkap betapa setelah Saddam Hussein digantung tidak ditemukan senjata pemusnah massal di Irak. Jadi invasi bertujuan sebagai upaya pergantian rezim di Irak, karena Amerika Serikat tidak mempersoalkan lagi apakah invasi itu memperoleh legitimasi dari PBB atau tidak. YANG PENTING SADDAM HUSSEIN HARUS JATUH. Irak boleh dikatakan salah satu negara Dunia Ketiga yang tak berdaya. Sanksi atas nama PBB yang diberlakukan bertahun-tahun bukannya dicabut, karena rakyatnya sudah menderita, tetapi ditambah dengan penderitaan selama invasi Amerika Serikat. Sekarang rakyatnya kembali menderita ketika perang pun dimulai lagi antara Gerilyawan Sunni dengan tentara Pemerintah Irak yang didukung mayoritas Syiah. [caption id="attachment_342800" align="aligncenter" width="200" caption="Saya bersama Duta Besar Irak di Jakarta, Dr.Sa"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H