YAkhirnya aku menginjakan kaki ke ibukota. setelah beberapi kali aku memohon2 ke orang tua, ke sanak keluarga, yang tinggal disana. Akhirnya aku menginjakan kaki disini, dengan caraku sendiri. Ya kebetulan ada acara temanku di daerah depok, maka ku sempatkan mencuri waktu untuk melihat calon mantan ibu kota ini. Hehe.
Setiap perjalanan, aku seolah dejavu terhadap jalanan kota jakarta. Setiap jalan dan di setiap titik yang aku singgahi, dalam hati selalu berbicara, "oh iya, ini gedung yang pernah aku lihat di tv", " oh iya ini gedung tempat ini" dan reaksi shok lainnya.Â
Maklum, pemberitaan mengenai ibukota sangat menarik apabila kita melihat di televisi. Pemberitaan yang bahkan tidak penting bagi kami yang ada di daerah. Seperti, macet di jalan thamrin, antrian di ragunan, pernah kalian membaca atau mendengar? Kira - kira apa pentingnya bagi kita di daerah untuk tau?
Perjalanan mengitari Kota jakarta, aku tempuh dengan menggunakan moda tranportasi umum, bagiku penggunaan transportasi umum lebih efektif bagi saya yang "kampungan" ini, karena sepanjang perjalanan kita dapat melihat secara maksimal landmark ibukota yang dilalui transportasi umum.
Disini aku melihat dan merasakan, betul kata mas jeje (jason ranti), Jakarta itu kasih sayang. Sebab aku merasakan perasaan paling cinta di ibukota ini, aku melihat muka lelah kaum pekerja, namun tak kulihat muka sedih di muka mereka. Kenapa?Â
Karena mereka bekerja untuk memberi kehidupan, merayakan ambisi untuk bisa bertaruh dengan nasib di ibukota.
Bahkan dengan berbagai resiko, ku melihat pedagang minuman keliling yang menjajakan minumanya di sekitar bundaran HI, yang notabene rawan sekali di razia satpol pp, mereka kerjakan itu dengan suka cita.Â
Tidur dengan tangan bergelantung di Pegangan KRL mugkin juga biasa mereka lakukan, dan aku melihat itu sebagai puncak rasa kasih dan sayang bagi siapapun tujuan mereka mencari hidup.
Jakarta bukan keras, tapi jakarta kasih sayang. Betul katamu, pak sapardi. Bahkan ketika orang di daerah yang sudah muak hanya karena macet sehari karena penutupan jalan. Warga jakarta terlihat sudah sangat biasa dengan hal itu. Sepenglihatanku, mereka malah banyak memberi ruang bagi kendaraan yang terburu - buru. Lantar apa itu bukan dinamai kasih sayang?
Hanya aku saja yang mengalami cultural-shock, ketika mendegar anak dan orang tua yang menggunakan sapaan Lo-Gue. Bagi mereka warga jakarta, justru itu adalah sapaan paling sayang yang dapat mereka gunakan. Hanya kita yang biasa di daerah jawa yang mungkin belum bisa menerima.
Tidak, Jakarta tidak keras, kalau kita dapat melihat secara dalam, justru tersimpan kasih sayang yang tidan semua orang bisa mengerti.Â