Mohon tunggu...
Dasam Syamsudin
Dasam Syamsudin Mohon Tunggu... lainnya -

Berjuang untuk hidup, hidup untuk berjuang...\r\n\r\nTwitter @Dasam03

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Inilah Akibat Jika Menerima Uang "Itu"

3 April 2015   10:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:36 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak tahu apa yang terjadi disebagian besar wilayah Indonesia ketika terjadi pemilihan pemimpin. Jika di daerah saya, sungguh sangat mengerikan “peristiwa” pemilihan pemimpin itu, bahkan jika itu hanya pemimpin setingkat desa. Karena itulah saya berani mengatakan bahwa yang menciptkan koruptor itu ya masyarakat juga. Atau setidaknya, yang pasti sebagian besar masyarakat menyutujui bahwa suap-menyuap itu hal yang lumrah dan seolah-olah sudah menjadi “halal” hukumnya.

Beberapa bulan yang lalu ada pencoblosan calon kuwu atau lurah di daerah saya. Dan diuar dugaan saya, hal itu sungguh sangat mengejutkan dan membuat saya syok. Bagaimana tidak? Nyaris semua masyarakat begitu gembira dan bersyukur ketika mendapatkan sejumlah uang sebelum hari H pencoblosan. Mereka tahu bahwa itu uang suap, uang itu sebagai simbolis bahwa calon pemimpin bukanlah orang yang jujur dan menganggap bahwa uang adalah segalanya di dalam kepimpinan, sehingga dia membeli suara masyarakat. Dan parahnya masyarakat senang dengan uang seperti itu? Saya kadang berpikir, apakah sebegitu menderitanya masyarakat sehingga mau diberi uang beberapa ratus ribu, dan uang itu jelas uang “haram”.

Membagikan uang di dalam peristiwa pemilihan pemimpin sepertinya bukan lagi sekedar sudah membudaya, tapi sudah menjadi aturan baku. Maksudnya jika ada orang jujur yangbenar-benar mampu memimpin tapi tidak kaya dan tidak memiliki kemampuan untuk memberi uang pada masyarakat sebelum pencoblosan maka itu tidak layak dianggap calon pemimpin. Dan anggapan hal itu pun benar-benar terjadi. Masyarakat begitu mudah mencomooh calon pemimpin yang tidak memiliki kemampuan untuk menyuap, dan parahnya, masyarakat juga tidak peduli apakah pemimpin itu orang yang akan berlaku adil atau tidak. Rusak! Semuanya sudah rusak, ada apa dengan masyarakat semacam ini? Sangat menderitakan hidup di dunia ini sehingga begitu mudahnya menjual harga diri dan keadilan di dalam kehidupan ini hanya karena uang beberapa rupiah?

Uang, seberapa besarnya pun pasti habis, kesenangannya tidak akan lama. Namun kedamaian, kenyamanan hidup, indahnya sebuah keadilan, rasa tentram karena keamanan yang terwujud, bukankah hal itu sangat penting dan benar-benar bisa membuat hidup begitu menyenangkan dan bahagia. Seberapa pun uang yang kita miliki jika kehidupan secara umum sudah tidak damai, tidak akan membuat hidup menjadi tentran dan menyenangkan. Karena banyaknya kriminalitas, tidak ada lagi keadilan, banyaknya penipuan, banyaknya tekanan, moral yang sudah hancur, hal itu justru akan membuat hidup menjadi susah, penuh ketakutan, mudah dirundung kebingungan, mudah frustasi, hilangnya kepedulian terhadap sesama, tidak seimbangnya perekonomian, terjadinya budaya “tuan-budak”, dan kesengsaraan yang lainnya.

Pemimpin adalah orang yang memberi pengaruh, tempat sandaran masyarakat terhadap permasalahan kehidupan bersama, seperti keamanan, keadilan, kebijakan, rasa tentram, damai, pendidikan, perekonomian, dan lain-lain sebagainya.

*Terakhir untuk diri saya sendiri dan mereka yang pernah menerimanya.

Jadi, tahanlah, sabarlah, tenanglah, berpikir positiflah jika diberi uang yang posisi hukumnya tidak jelas terutama yang haram. Sebab hasil dari menahan dan bersabar dari “desakan syahwat duniawi yang tidak benar” itu sudah pasti lebih besar hikmah dan berkahnya. Rizki dari Allah itu tidak membuat sengsara, tapi membuat bahagia dan menentramkan, tidak membuat merasa terancam dan cemas dari orang lain dan hukum.

Wallahu A’lam.

Dasam Syamsudin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun