Mohon tunggu...
Dasam Syamsudin
Dasam Syamsudin Mohon Tunggu... lainnya -

Berjuang untuk hidup, hidup untuk berjuang...\r\n\r\nTwitter @Dasam03

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cahaya Yang Terperangkap

31 Desember 2010   01:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:10 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lubang hitam (black hold),
bukanlah sebuah lubang. Itu adalah bintang yang mati. Bintang gemintang
yang berserakan di jagat raya mempunyai usia. Maksudnya, pijar yang
menyala-nyala di tubuh bintang suatu saat akan padam. Dan reaksi
supernova yang terjadi sebelum bintang itu betul-betul mati akan
melempar dan menghamburkan seluruh materi dan energi dengan dahsyat.
Lalu, semua materi itu akan terhisap kembali pada materi dasar bintang
tersebut dengan kekuatan gravitatsi yang secara menakjubkan menjadi
jutaan kali lipat besarnya. Sehingga dengan daya hisap gravitasi yang
sangat dahsyat itu mampu menarik benda-benda angkasa yang lewat dekat
dengannya. Sebesar dan secepat apapun benda angkasa yang mendekat akan
hancur terhisap, termasuk sesuatu yang tercepat; seperti gelombang foton
(cahaya). Besarnya daya gravitasi bintang tersebut membuat cahaya
terjebak dan tak berdaya, tak bisa memantul atau lepas darinya. Hal itu
menyebabkan tak ada gelombang foton yang dipantulkan dari bintang
tersebut, sehingga bintang itu terlihat bolong layaknya sebuah lubang
dalam yang tak berujung. Bukan hanya itu, besarnya gaya gravitasi
menjadikan bintang mati itu menghisap dirinya sendiri sampai ukurannya
berkali-kali lipat lebih kecil dari ukuran awalnya. Sangat menakjubkan.

Bayangkan,
sebuah bintang yang begitu besar bisa tidak terihat disebabkan tak ada
cahaya yang mampu memancar darinya. Alih-alih cahaya yang menyorot
bintang itu malah dihisapnya.

Fakta ilmiah di atas yang
ditemukan pada abad keduapuluh ini, mempunyai hikmah yang sangat
menarik. Katakan saja bisa dianalogikan dengan keimanan pada Tuhan yang
bisa tidak terlihat (tidak terasa) karena hati kita tidak bisa
memancarkan cahaya-Nya.

Al-Quran
berfirman, “Allah adalah cahaya di atas cahaya”. Menurut
Dr. Zakir Naik, penulis buku Al-Quran dan Sains Modern, dia juga
seorang Hafidz (seorang yang hafal seluruh Al-Quran), mengatakan, yang dimaksud Allah cahaya diatas cahaya
merupakan sebuah analogi; bahwa Allah SWT merupakan cahaya. Dia adalah
sumber cahaya yang tidak pernah padam yang mampu “menerangi” alam
semesta agar bergerak mengikuti hukum-Nya, juga sebagai cahaya yang
menuntun orang-orang yang beriman kepada-Nya, dan juga sebagai cahaya
yang membuka penglihatan kepada orang-orang yang buta mata[hati]nya
sehingga ia sadar dimana ia berada dan siapa dirinya.

Semua manusia
dilahirkan dalam keadaan “fitrah”. Maksudnya, manusia
pada dasarnya mempunyai potensi untuk beriman yang selalu ada di dalam
hatinya. Sejak akalnya diciptakan dan diberi “kemampuan untuk menerima
kebenaran”—meminjam istilah Aristoteles—manusia sudah dikenalkan pada
Tuhannya. Yang apabila akalnya mampu berpikir secara “baligh” ia bisa
berhubungan erat (menyadari) dengan kebenaran hati yang senantiasa
memancarkan cahaya keyakinan bahwa Allah itu ada. Cahaya-Nya akan selalu
memancar di dalam hatinya sebagai penerang atau pembuka kesadaran bahwa
manusia harus beriman kepada-Nya.

Jadi, tidak ada manusia
yang tidak menyadari akan kehadiran Tuhan, meski ia seorang atheis.
Tuhan yang tidak membutuhkan bentuk dalam kehidupan, itu karena
kehadiran-Nya sangat terasa dalam hidup ini. Seperti kata M. Quraish
Shihab, ketidak terlihatan Tuhan dalam kehidupan karena Dia sangat
terasa kehadiran-Nya. Atheis hanyalah sebuah pengakuan manusia yang
“merasa” tidak ada Tuhan atau tidak membutuhkan Tuhan. Sebab hakikatnya
ia mengakui sebuah “kekuatan” yang senantiasa hadir dalam hidupnya dan
yang menjadikannya hidup. Seorang sufi berkata, selagi manusia memiliki
harapan dan ketakutan, selama itu pula ia mengakui Tuhan.

Semua manusia
itu memiliki cahaya Allah SWT yang berada dalam hatinya. Akan tetapi,
acap kali gemerlap kehidupan dunia membutakan matahati sehingga kita
lebih terpesona oleh pancaran kehidupan dunia ketimbang pancaran cahaya
Allah. Hati yang terlalu sibuk dengan kehidupan dunia, ditambah
kebanggaan terhadap diri sendiri membuat cahaya Tuhan yang memancar di
dalam hati tidak terasa. Ledakan syahwat dunia layaknya supernova
menjadikan diri terhisap kedalam hati yang telah terbungkus dengan
gemerlapnya cahaya dunia yang ada kalanya menipu.


Untuk membuka
tabir gelap yang menutupi cahaya hati, manusia harus berusaha sekerasnya
mendefault (mengembalikan akal dan hatinya) pada posisi
awal, saat belenggu-belenggu pikiran dan kesombongan belum pernah
menyentuhnya. Cobalah berpikir sejenak merasakan pancaran cahaya yang
ada di dalam hati kita dengan tidak mengikat [dulu] hidup kita pada
sebuah prinsip, baik atau buruknya. Netralkan akal dan pikiran dari
teori-teori hidup ini, kosongkan dari kesibukan duniawi, dan pada
akhirnya kita akan menyadari bahwa di dalam hati ada sebuah cahaya yang
membuka kita pada penglihatan bahwa disinilah kita hidup, dan inilah
diri kita yang tercipta karena Allah SWT.

Jika meminjam istilah Ari
Gynanjar, seorang trainer ESQ (Emotional Spiritual Questiion), bahwa
setiap hati manusia itu memiliki godspot (suara Tuhan).
Setiap manusia menyepakati kebenaran universal, yakni di dalam hati
manusia senantiasa ada yang membisikan bahwa kebenaran itu benar dan
keburukan itu buruk. Orang jahat tahu apa yang dilakukannya itu salah.
Meski perbuatannya salah, tapi mengakui kesalahan adalah benar. Sebab
hati tidak pernah bohong. Selain itu, setiap orang pasti merasakan hal
yang sama; manusia itu harus berbuat baik dan berharap dirinya jadi
orang baik, dan berharap semua penjahat itu jadi orang baik. Apa itu
artinya? Artinya ada “suara” yang selalu membisikan kebenaran yang sama,
dan itu adalah suara atau cahaya Allah Swt. Jadi benarlah, bahwa semua
manusia dilahirkan dalam keadaan “fitrah”. Yakni manusia
pada awalnya ada dalam keadaan suci dan selamanya harus menjaga
kesuciannya. Dengarkan suara hati Anda: menodai sesuatu yang suci
benarkah hal itu? Salah! Kalau begitu berusahalah diri kita agar menjadi
yang suci (beriman kepada Allah SWT dan melaksanakan misi suci-Nya,
yakni amal shaleh (berbuat baik).
Wallahu
A’lam.

Dasam Syamsudin,
Aktivis IMM UIN SGD Bandung

Pemerhati masalah keagamaan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun