Mohon tunggu...
Dang Aryanyacala
Dang Aryanyacala Mohon Tunggu... karyawan swasta -

support research

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Merger PGN dan Pertamina Demi Kepentingan Siapa

18 Januari 2014   15:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:42 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Tetek bengek urusan ibu rumah tangga itu tidak melulu soal-soal para ibu perkasa yang mengurus kebersihan rumah sampai menyiapkan makan bagi suami dan anak-anaknya. Tidak simplistis, bahkan menjadi rumit dan menjadi spekulatif publik ketika persoalan ibu rumah tangga sampai menjadi alat untuk menguatkan pengaruh.

Terlebih di tahun pemilu ini, tahun 2014.  Ambil contoh ketika gegeran kenaikan harga elpiji 12 kg yang naiknya mencapai 80% secara kumulatif. Publik kemudian geger. Presiden SBY turun tangan mengkritik kebijakan korporat Pertamina. Sementara Pertamina menilai harga gas elpiji 12 kg adalah bebas dari persoalan subsidi karena itu menyangkut otoritas korporat.

Bukan soal cibiran publik yang memandang sinis terhadap reaksi keras Presiden SBY terkait naiknya harga elpiji 12 kg yang akan dibahas di sini. Publik menilai SBY yang notebene ketua umum partai berkuasa dicibir menyalip di tikungan dengan seolah-olah menjadi pahlawan. Apalagi kalau bukan demi elektabilitas Partai Mercy yang saat ini sedang nyungsep.

Kata Tukul Arwana, balik maning ke laptop. Setelah gegeran harga elpiji 12 kg muncul ide merger atau akuisisi antara PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN).  Apa sih sebenarnya yang sedang terjadi? Apa benang merahnya antara karut marut harga elpiji 12 kg  dan merger Pertamina dan PGN.

Menilik berita yang muncul di permukaan, bisa jadi ini adalah persoalan koordinasi antara Menko Perekonomian Hatta Rajasa dan Menteri BUMN Dahlan Iskan. Lebih jauh dari itu publik bisa saja membacanya sebagai persaingan politik dua pejabat tinggi negara yang sama-sama kandidat presiden pada pilpres 2014. Lebih jahil lagi adalah rebutan ladang capital untuk gizi pilpres.

Sebagai spekulasi publik sah dan boleh-boleh saja dong. Toh kalau dikonfirmasi pasti kedua figur itu menolak keras. Karena itu sebagai spekulasi biarkan saja sebatas spekulasi. Karena yang terpenting adalah publik harus tetap bertindak sebagai watchdog sebab siapa tahu spekulasi itu benar adanya.

Jika karut marut 2 isu penting dalam pekan-pekan terakhir itu benar, maka sejatinya Dahlan Iskan menang selangkah karena setidaknya sukses mempecundangi Hatta Rajasa. Mengapa begitu? Bisa jadi kenaikan harga elpiji 12 kg sampai 80% cuma akal-akalan Dahlan untuk menarik ke persoalan sebenarnya yaitu merger Pertamina dan PGN. Sebagai pengusaha Dahlan tentu sadar betul tak masuk akal harga sebuah komoditi naik sampai 80% dalam sekali momen.  Dan pasti akan ada intervensi dari orang lebih tinggi otoritasnya dari dua pejabat yang berseteru tersebut. Terbukti itu benar, kenaikan harga elpiji akhirnya direvisi.

Dalam konteks merger Pertamina dan PGN pun urusannya tidak jauh-jauh dari perseteruan tersebut. Dari kabar-kabar yang muncul ke permukaan alasan Dahlan menggagas merger 2 BUMN adalah persaingan tidak sehat antara Pertamina via anak usahanya Pertagas dan PGN di tingkat praksis lapangan. Pada sisi lain, sektor gas di mata Dahlan harus bergerak ke arah modernisasi sehingga distribusi gas ke rumah-rumah tangga harus dalam bentuk pipanisasi. Dan itu butuh perusahaan BUMN energi yang mumpuni.

Apa benar alasannya cuma itu? Dari berita yang berkembang lagi-lagi memunculkan spekulasi bahwa hal itu dilatarbelakangi perseteruan untuk menancapkan pengaruh ke sumber-sumber modal. Direksi PGN kabarnya lebih sering berkoordinasi dengan Kementerian Perekonomian. Padahal Kementerian BUMN adalah instansi teknis.

Dahlan pun bukannya tanpa amunisi dalam perebutan pengaruh ini. Petinggi PGN saat ini disebut-sebut memang cakap dalam hal financial engineering. Alhasil result PGN sebagai perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa saham tidak mengecewakan. Tetapi di sisi lain direksi PGN kedodoran dalam mempersiapkan dirinya sebagai transporter gas dan penyedia gas. Apalagi PGN bukan pula sebagai produsen gas. Sementara sumber-sumber gas sudah dikuasai makelar notabene lebih dekat ke Pertamina. Akhirnya harga jual gas PGN menjadi tidak efisien karena lebih mahal.  Sekali Dahlan menang langkah.

Lalu ujung rebutan pengaruh dan sumber modal ini bagaimana? Kita lihat saja kelanjutannya. Satu hal yang tidak boleh dilupakan dua pejabat tinggi tersebut adalah pikirkan juga kepentingan publik. Ingat PGN listed company yang segala langkahnya sudah diatur menurut UU Pasar Modal sebagai lex specialis. Jadi merger PGN dan Pertamina bukan persoalan sederhana kalau dilihat dari kaca mata UU Pasar Modal. Naif kalau keputusan itu diambil atas dasar kepentingan dan ambisi pribadi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun