Pemilu legislatiftelahusai dua pekan lalu. Pelaksanaannya merupakan gambaran demokrasi liberal yang dicangkokkan di Indonesia, sebuah Negara berpenduduk kurang sejahtera berjumlah signifikan. Di Indonesia, penduduk berstatus miskin berjumlah 11,37 persen atau 28,55 juta jiwa (BPS, 2013). Angka Itu berdasarkan batas kemiskinan menurut BPS, yaitu Rp 271.626 per bulan. Bila menggunakan standar Bank Dunia yaitu $ 20 per kapita per hari, penduduk berstatus miskin diperkirakan sekitar 100 juta jiwa.
Terkait hal di atas, terdapat sebuah tesis yang menyatakan bahwa demokrasi liberal di tengah masyarakat yang belum sejahtera rawan dibajak, terutama oleh para “pemilik modal”. Demokrasi dapat diselewengkan untuk melayani kepentingan pemilik modal ketimbang mewujudkan kesejahteraan (umum) rakyat. Tesis tersebut agaknya sulit dibantah dalam konteks implementasi demokrasi di Indonesia, saat ini.
Pemilu legislatif dengan sistem proporsional terbuka (open-list proportional representation), yang dimulai sejak pemilu 2009 lalu, telah menunjukkan betapa biaya politik menjadi demikian tinggi, baik yang ditanggung Negara maupun partai politik dan individu para caleg. Uang Negara (dari APBN) yang dikeluarkan untuk membiayai pemilu legislatif 2014 lalu berjumlah sekitar Rp 16 triliun lebih. Sementara total uang yang dikeluarkan para caleg dan partai politik diperkirakan tidak kurang dari 200 triliun. Jumlah uang tersebut—bila digunakan untuk membangun infrastuktur—bisa membiayai pembangunan jembatan Selat Sunda yang menghubungkan Jawa dan Sumatera, yang hanya membutuhkan anggaran Rp 100 triliun. Juga bisa untuk membangun 2 buah kilang minyak baru dengan kapasitas produksi tiap kilang sebesar 300 ribu barrel per hari.
Selain itu, sistem proporsional terbuka dalam konteks Indonesia telah mendorong semakin masifnya praktik money politics (politik uang) dalam pemilu. Praktik money politics tersebut wujudnya beragam, mulai dari yang terselubung seperti pengurukan jalan, sumbangan untuk tempat ibadah (masjid, musholla, dan lain-lain), sampai yang vulgar berupa pembagian sembako atau aneka barang lain, dan pemberian uang pada pemilih di malam hari atau hari “H” (pencoblosan).
Tidak seperti pada pemilu era orde baru, pelaku money politics saat ini bukan institusi partai, melainkan para caleg, baik karena inisitiaf sendiri maupun inisiatif yang berasal dari masyarakat pemilih dan para calo suara (vote-brokers). Pada pemilu 2009, money politics inisiatif masyarakat dan/atau vote-brokers tidak banyak menyentuh caleg DPR RI. Pada Pemilu 2014, fenomena tersebut menimpa secara masif caleg DPR RI dan caleg DPRD Propinsi.
Sosialisasi program maupun komitmen ‘abstrak’ para caleg tidak begitu laku di masyarakat. Rekam jejak (track record) sang caleg juga tidak begitu diperhatikan. Bahkan, tampang menawan pun tidak lagi menjadi daya tarik utama pemilih. Muncul fenomena, yang diminta para pemilih adalah komitmen instan para caleg untuk melakukan transaksi suara, mewujud money politics (termasuk vote-buying). Itu bisa menjadi salah satu penjelasan mengapa banyak tokoh idealis berrekam jejak baik, serta para pesohor kalangan artis berparas menarik dari beragam partai tidak mendapat suara signifikan, dan tidak terpilih. Sementara itu, ada caleg yang dikenal luas masyarakat sebagai penjahat, atau caleg yang sudah divonis 4 tahun penjara karena tindak pidana korupsi seperti yang menimpa salah satu caleg DPR RI dari Kalimantan, masih bisa terpilih. Tentu, masih terbuka adanya penjelasan lain mengenai hal tersebut.
Namun demikian, kasus money politics inisiatif masyarakat pemilih dan vote-brokers yang mengemuka terjadi di seluruh Dapil di Indonesia. Dalam banyak kasus, inisiatif money politics dimaksud dinyatakan secara terang-terangan. Misalnya, tergambar dalam sebuah spanduk besar terpasang di pintu gerbang sebuah desa yang berbunyi “KAMI SIAP MENERIMA SERANGAN FAJAR”; atau, ungkapan WANI PIRO?; MANA AMPLOPNYA?; dan lain-lain.
Dalam situasi semacam itu, seorang caleg yang rajin melakukan sosialisasi tanpa “gizi”, bisa gigit jari. Sebagai contoh, ada seorang caleg cukup terkenal, bergelar akademik tertinggi, dan merupakan mantan pejabat penting di daerah, menghabiskan biaya operasional cukup besar (sekitar Rp 1 miliar) untuk sosialisasi langsung, namun tak mau melakukan jual beli suara (vote-buying), dapat dikalahkan oleh pendatang baru yang hanya mengandalkan praktik vote-buying pada hari ‘H” melalui vote-brokers.
HIPOTESIS
Fenomena masyarakat pemilih yang menginisiasi praktik money politics (baca: vote-buying) dalam pemilu legislatif, memunculkan sejumlah hipotesis untuk memahami faktor penyebabnya. Setidaknya terdapat 3 hipotesis mengenai hal tersebut. Pertama, khususnya di Jawa, fenomena inisiasi money politics merupakan pengaruh dari praktek serupa dalam pemilihan kepala desa. Sudah menjadi rahasia umum, para kandidat kepala desa berlomba membeli dukungan dengan sejumlah uang dan barang pada hari “H”.Biaya yang dikeluarkan kandidat kepala desa untuk itu bisa mencapai hingga miliaran rupiah.
Kedua, persepsi publik—yang sebagian besar dikonstruksi media—terhadap anggota Dewan yang mendapat fasilitas mewah, tetapi kinerjanya payah, telah memunculkan semacam antipati terhadap anggota Dewan. Antipati tersebut kemudian direfleksikan dengan memeras para caleg pada saat pemilihan. Itu tidak hanya ditujukan pada caleg incumbent, tetapi juga yang baru.
Sebenarnya, banyak informasi mengenai gaji dan fasilitas mewah serta predikat negatif anggota Dewan yang diberitakan media tidak sepenuhnya proporsional. Gaji dan fasilitas anggota DPR RI sebagai pejabat tinggi negara misalnya, jauh di bawah para pejabat BUMN, direktur Bank, dan para pejabat tinggi birokrasi. Bahkan, fasilitas ruangan anggota DPR RI—faktanya—tidak ada apa-apanya dibanding yang ditempati pejabat eselon I (birokrasi).
Ketiga, para calo suara (vote-broker) yang mendorong masyarakat meminta caleg melakukan money politics. Vote-brokers menganggap pemilu sebagai rejeki limatahunan mereka. Mereka tidak mempermasalahkan rekam jejak sang caleg. Bahkan, penjahat sekalipun akan ia jajakan ke masyarakat untuk dipilih asal mampu membayar.
BIAYA POLITIK CALEG
Secara empirik, besaran uang yang harus dibagikan per suara (pemilih) antara Rp 20 ribu sampai Rp 150 ribu. Seorang politisi senior yang sudah 3 periode menjadi anggota Dewan menyatakan bahwa biaya untuk mendapatkan suara pada hari H rata-rata Rp 20 ribu per suara. Biaya dimaksud, tidak selalu diartikan uang yang dibagikan langsung kepada pemilih, tetapi bisa merupakan reward yang diberikan kepada vote-brokers. Dengan demikian, caleg DPR RI yang ingin mendapat 50 ribu suara, untuk berpeluang besar terpilih, harus menyiapkan sedikitnya 1 miliar pada hari “H”. itu belum ditambah dengan biaya sosialisasi dan kampanye sebelum hari “H” dan pengawalan hasil suara pasca hari “H” sampai penetapan hasil resmi oleh KPU. Sehingga, tidak mengherankan bila banyak caleg terpilih yang menghabiskan lebih dari Rp 2 miliar, bahkan ada yang di atas Rp 6 miliar. Caleg DPR RI yang berdana kurang dari 1 miliar, dipastikan tidak akan optimal menggarap lumbung suara potensialnya.
Dengan asumsi 50 ribu suara untuk berpeluang besar terpilih (meskipun tidak pasti, tergantung akumulasi suara partai dan seluruh caleg partai bersangkutan dalam satu dapil), seorang caleg DPR RI harus menggarap optimal potensi suara minimal di 1000 TPS. Disebut optimal bila di satu TPS dapat meraup 50 suara. Sementara untuk caleg DPRD Propinsi dan caleg DPRD Kabupaten, besaran suara yang harus diperoleh lebih sedikit secara berurutan. jumlah TPS yang harus digarap optimal masing-masing minimal sebanyak 750 TPS dan 100 TPS.
Ilustrasi jumlah TPS yang harus digarap optimal oleh seorang caleg di atas, bisa memberikan gambaran mengenai berapa jumlah dana yang harus disiapkan seorang caleg untuk berpeluang besar terpilih. Jelas, harga kursi ala demokrasi liberal itu tidak murah dan belum terjamin kontribusi positifnya bagi rakyat, bangsa, dan Negara.
IMPLIKASI
Pada akhirnya, proses politik pemilihan terlihat sangat terbuka bagi siapa, tapi sejatinya tertutup. Orang-orang berintegritas, kalangan aktivis dan akademisi kampus yang idealis, namun tak beruang memadai, sangat kecil peluangnya terpilih, kecuali mereka mau kehilangan idealismenya dan rela menjadi budak para pemilik modal. Bahkan, pimpinan partai politik yang kantongnya kalah tebal serta tak mau melakukan money politics (vote-buying), bisa tersingkir oleh caleg yang tak pernah mengurus partai politik namun mampu membeli suara. Ini terjadi di banyak daerah. Berdampak negatif bagi penguatan partai politik yang dibutuhkan demokrasi. Nanti, bisa terjadi, banyak orang yang enggan mengurus partai politik kalau tidak ada katup pengaman bagi mereka yang turut berjuang membangun partai politik, terutama di tingkat lokal.
Bila partai politik dilemahkan dan ditinggalkan, dan hanya diperlakukan sebagai baju pinjaman kala pencalegan, maka demokrasi akan kehilangan penopang kokohnya. Demokrasi akan kehilangan makna substansialnya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, dan hanya diperlakukan semacam ritual lima tahunan. Ideologi perjuangan hanya dijadikan pajangan dan pemanis bibir dalam percakapan. Tidak dijadikan pegangan kala merumuskan kebijakan pembangunan.
Di samping itu, patut dikhawatirkan, anggota Dewan terpilih yang terjerat praktik money politics dan menghabiskan dana yang sangat besar untuk duduk di kursi parlemen, akan terjebak dalam kalkulasi pengembalian biaya politik yang telah dikeluarkan. Kondisi semacam ini yang menyebabkan anggota Dewan berhadapan dengan dua kemungkinan negatif. Salah satu atau keduanya yakni tidak fokus mengemban tugasnya sebagai wakil rakyat, dan terlibat perilaku koruptif dengan menyalahgunakan kekuasaannya (abuse of power). Ini terjadi juga pada sejumlah anggota Dewan sebelumnya.
Oleh karenanya, kita patut mempertanyakan pelaksanaan demokrasi electoral dengan sistem proporsional terbuka itu. Apa lebih banyak manfaatnya atau mudharatnya?
SOLUSI ALTERNATIF
Banyak kalangan tersadar, demikian berbahayanya sistem proporsional terbuka bagi kualitas demokrasi, saat masyarakat pemilih masih mudah terjebak money politics. Dulu, saat mengganti proporsional tertutup dengan proporsional terbuka, itu karena terjadi praktik dagang sapi dalam penentuan nomor urut caleg di partai politik. Problemnya ada di partai politik. Selain itu, ada harapan proporsional terbuka lebih baik dengan asumsi rakyat sudah cerdas dan mampu memilih berdasarkan hati nuraninya. Ternyata, asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar.
Dalam pembahasan RUU yang kemudian menjadi UU No 8 tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, fraksi PDI Perjuangan sebenarnya sudah mengajukan usulan kembali ke proporsional tertutup. Namun, banyak fraksi yang ambigu (mendua). Fraksi Demokrat dengan jumlah anggota terbanyak ngotot menggunakan proporsional terbuka. Sehingga, sistem proporsional terbuka tersebut tetap diadopsi dalam UU Pemilu tersebut. Belakangan, banyak caleg incumbent Partai Demokrat menyesal.
Sementara, kalangan LSM, seperti CETRO, dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) di DPR mengusulkan dua sistem dengan besaran dapil (district magnitude) diperkecil dan jumlahnya diperbanyak. Yakni, separuh dapil menerapkan proporsional terbuka (open-list proportional representation), sementara sisanya dengan proporsional tertutup (closed-list proportional representation). Keberadaan dapil dengan proporsional tertutup, dimaksudkan untuk memastikan orang-orang yang sangat kompeten dan berintegritas—baik dari pengurus partai maupun bukan, seperti kalangan aktivis dan akademisi kampus—memiliki peluang terpilih dengan menempatkannya pada nomor urut atas.
Penulis menilai bahwa gagasan penerapan dua sistem pemilihan secara bersamaan sangat tepat diadopsi untuk saling mengoreksi sisi negatif pada masing-masing sistem. Sebab, bila dikembalikan total ke sistem proporsional tertutup pada saat partai politik belum sepenuhnya berbenah, membuka peluang munculnya sisi negatif masa lalu dalam penentuan nomor urut caleg, di mana di dalamnya transaksi “dagang sapi” di internal partai politik. Kalau semua partai politik dipastikan sudah mampu mengeliminasi sisi negatif tersebut, pilihan total ke proporsional tertutup dapat dipilih. Dan, sistem pemilihan yang lebih sederhana tersebut dapat memperkuat institusi partai politik sebagai pilar utama demokrasi.
Lebih lanjut, sistem pemilihan yang diadopsi harus mampu melucuti sisi negatif demokrasi electoral bersifat liberal, seraya mendorong mekarnya demokrasi substansial yang menyejahterakan rakyat. Sisi negatif demokrasi berbiaya tinggi harus direduksi, bahkan dieliminasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H