Mohon tunggu...
Daryani El Tersanaei
Daryani El Tersanaei Mohon Tunggu... Dosen - Pencinta Ilmu dan Kebijaksanaan

Direktur Eksekutif Parameter Nusantara (PARA). Pengajar di FISIP IISIP Jakarta dan beberapa PTS lain di Ibu Kota. Mantan Ketua Umum ISKC (Ikatan Santri Se-eks Karesidenan Cirebon) Pon.Pest. Bahrul 'Ulum Tambakberas, Jombang periode 1994-1995, Ketua Presidium SOMASI (Solidaritas Mahasiswa Seluruh Indramayu) periode 1999-2000, Ketua Umum FKPM/KPM (Forum Komunikasi Pelajar dan Mahasiswa/Keluarga Pelajar dan Mahasiswa) Jawa Barat-D.I. Yogyakarta periode 2000-2002. Ketua PC ISNU (Ikatan Sarjana Nahdlatul 'Ulama) Kabupaten Indramayu masa khidmat 2013-2017.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Dagang Suara

14 Mei 2014   21:41 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:31 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pelaksanaan pemilu legislatfi (Pileg) 2014 lalu telah menyuguhkan fenomena yang mengancam kualitas demokrasi kita. Fenomena dimaksud yaitu politik uang (money politics) yang semakin masif, pencurian suara, dan jual beli suara, yang melibatkan caleg (calon anggota legislatif), penyelenggara pemilu, pemilih, dan para makelar suara (vote-broker). Sementara keterlibatan institusi parpol (partai politik) belum terdeteksi.

Aktifitas dari fenomena di atas, dapat disebut “dagang suara” (vote trading). Istilah “dagang suara” dipilih untuk membedakannya dengan (praktik) vote buying yang telah ada sejak zaman Republik Romawi Kuno, dan sudah dikeluhkan Cicero, seorang filsuf dan politisi (Yakobson, 1995), terjadi di Inggris dan Amerika sejak abad ke-19 (OLeary, 1962), dan menjadi fenomena yang mendunia sejak tahun 1970-an (Kramon, 2011).

Dalam khazanah pemilu di dunia, vote buying berarti memberikan sesuatu (uang, barang, dan lain-lain) kepada pemilih (voter; electorate) untuk memberikan suaranya dalam pemilu pada pihak pemberi. Sementara “dagang suara” (vote trading) lebih luas pengertiannya, tidak selalu melibatkan pemilih seperti dalam konsep vote buying. Ia mencakup pula fenomena pencurian suara dan penggelembungan suara untuk caleg dan/atau parpol tertentu yang melibatkan para penyelenggara pemilu pada semua tingkatan, tanpa keterlibatan pemilih. Ringkasnya, konsep “dagang suara” lebih luas, mencakup pula (di dalamnya) vote buying.

Praktik “dagang suara” itu merusak kualitas pemilu dan menciderai demokrasi. Karenanya, pemilu menjadi cacat, dan berpotensi besar menghasilkan para legislator yang sangat diragukan integritas dan komitmennya untuk menjadi wakil rakyat yang baik. Terutama, mereka yang terpilih karena “membeli suara”. Mereka terbiasa dengan cara-cara kotor untuk meraih tujuannya. Tidak mengherankan, bila nanti mereka mudah jatuh dalam kubangan korupsi.

Kalau menginginkan pemilu berkualitas dan demokrasi yang sehat, tak ada pilihan lain, praktik “dagang suara” harus dihilangkan. Untuk itu, butuh pemahaman empirik “dagang suara”, sebelum menentukan solusi yang tepat.

Peta Inisiator

Hal penting untuk memahami praktik “dagang suara” adalah mengetahui peta inisiatornya. Pengalaman pemilu di Indonesia menunjukkan inisiator “dagang suara” terbagi dua kategori. Pertama, pihak peserta dan kandidat, yaitu partai politik dan/atau caleg. Kedua, pihak non kandidat, terdiri dari masyarakat pemilih, para makelar suara (vote-brokers); dan penyelenggara pemilu dari semua tingkatan.

Di era orde baru, “dagang suara” dilakukan parpol penguasa sebagai bagian dari kombinasi represi dan manipulasi pemilu. Pasca orde baru, pada pemilu 1999, praktik tersebut berlanjut secara sporadis. Kemudian, pada pemilu berikutnya (2004), praktik itu sudah melibatkan caleg secara terbatas, terutama yang berada di nomor urut 1. Lazim disebut nomor topi atau nomor jadi.

Usai pemberlakukan sistem pemilu proporsional terbuka (open-list proportional representation) pada pemilu 2009, “dagang suara” berlangsung masif. Inisiator utamanya adalah caleg. Sementara inisiator pemilih dan/atau vote-broker, atau mereka yang meminta caleg untuk “membeli suara”, masih terbatas. Umumnya, tertuju pada caleg DPRD Kabupaten/kota.

Pada pemilu 2014 ini, insiator “dagang suara” kategori kedua semakin menonjol. Mereka berperan besar atas praktik “dagang suara” yang semakin masif. Masyarakat pemilih, dengan provokasi dari vote-brokers, semakin aktif meminta para caleg di semua tingkatan, termasuk caleg DPR RI, untuk memberikan sesuatu kepada mereka dan komunitas mereka, atas imbalan dukungan suara yang akan mereka berikan. Imbalan atau alat tukar dukungan yang diminta ada yang bersifat terselubung dan vulgar. Bersifat terselubung, misalnya perbaikan jalan komunitas, sumbangan pembangunan tempat ibadah, dan lain-lain. Sementara yang vulgar, misalnya berupa uang dan sembako atau sejenisnya pada malam hari atau di hari “H” (pencoblosan).

Di sisi lain, para penyelenggara pemilu, terutama di tingkat PPS dan PPK, berperan laiknya pedagang, menawarkan suara kepada caleg dengan harga tertentu. Variatif, mulai dari Rp 10 ribu per suara sampai Rp 100 ribu per suara. Pengalaman Ahmad Yani, Caleg DPR RI PPP dari Dapil Sumsel I misalnya, ditawari harga Rp 30 ribu per suara dan Rp 20 ribu per suara oleh oknum PPK.

Akibat ulah para inisiator (kategori kedua) di atas itulah para caleg kerap tergoda dan terpaksa “membeli suara”. Bagi para caleg yang sebelumnya berniat “membeli suara”, akan melakukannya tanpa beban moral sedikitpun.

Solusi Perubahan

Solusi yang patut dipertimbangkan untuk mengeliminasi—atau mereduksi sampai seminimal mungkin—praktik “dagang suara” adalah sebagai berikut. Pertama, mengubah sistem pemilu. Tetap proporsional, tetapi tidak semua dapil (daerah pemilihan) proporsional terbuka (open-list proportional representation). Separuhnya, diberlakukan proporsional tertutup (closed-list proportional representation). Besaran dapilnya (district magnitude) dikurang sampai separuhnya, sehingga jumlah dapilnya bertambah dua kali lipat. Misalnya, dapil DPR RI yang semula berjumlah 77 menjadi 154 dapil dengan jumlah total kursi DPR RI tetap 560. Dengan itu, di satu sisi, praktik “dagang suara” dapat direduksi dan, di sisi lain, terjadi saling koreksi terhadap sisi negatif pada masing-masing sistem.

Kedua, usut tuntas beragam indikasi praktik “dagang suara”. Siapapun yang terlibat harus dihukum. Minimal, secara simbolik, harus ada penegakan hukum (law enforcement) atas praktik “dagang suara” tersebut. Ini penting untuk mereduksi peluang delegitimasi hasil pemilu.

Ketiga, internalisasi nilai-nilai demokrasi di tengah masyarakat lebih diintensifkan. Untuk itu, perlu ada gerakan nasional yang melibatkan baik suprastruktur politik maupun infrastruktur politik.Selain pemerintah, parpol dan politisi, ormas, serta media harus terlibat aktif. Orientasi utamanya, menjadikan pemilih yang cerdas dan otonom. Yakni pemilih yang mampu mengetahui dan mengenaili pilihannya atas dasar pertimbangan keyakinan ideologis;integritas; kapabilitas; visi, misi, dan program dari pilihannya tersebut.

Dengan itu, pemilih tersebut tidak menjadikan suaranya sebagai “barang dagangan”, dan tidak mempan dibujuk dan diiming-imingi dengan apapun untuk mengubah keyakinan atas pilihannya. Mereka menjadikan suaranya sebagai sesuatu yang “sakral”, dan memilih secara mandiri. Pemilih demikian, meyakini bahwa suaranya sangat menentukan arah pembangunan dan nasib bangsa ke depan. Pada tahap itulah pemilu dan demokrasi di Indonesia bisa disebut sehat dan berkualitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun