Mohon tunggu...
Daryani El Tersanaei
Daryani El Tersanaei Mohon Tunggu... Dosen - Pencinta Ilmu dan Kebijaksanaan

Direktur Eksekutif Parameter Nusantara (PARA). Pengajar di FISIP IISIP Jakarta dan beberapa PTS lain di Ibu Kota. Mantan Ketua Umum ISKC (Ikatan Santri Se-eks Karesidenan Cirebon) Pon.Pest. Bahrul 'Ulum Tambakberas, Jombang periode 1994-1995, Ketua Presidium SOMASI (Solidaritas Mahasiswa Seluruh Indramayu) periode 1999-2000, Ketua Umum FKPM/KPM (Forum Komunikasi Pelajar dan Mahasiswa/Keluarga Pelajar dan Mahasiswa) Jawa Barat-D.I. Yogyakarta periode 2000-2002. Ketua PC ISNU (Ikatan Sarjana Nahdlatul 'Ulama) Kabupaten Indramayu masa khidmat 2013-2017.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kemerdekaan RI dan Sentimen Keagamaan Ala Resolusi Jihad

22 Oktober 2018   11:46 Diperbarui: 22 Oktober 2018   12:12 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

22 Oktober tahun ini  adalah kali keempat diperingati secara resmi sebagai Hari Santri Nasional sejak ditetapkan oleh Presiden Jokowi melalui Keppres No. 22 tahun 2015. Dalam guratan tinta sejarah, 22 Oktober 1945 adalah masa diputuskannya hasil rapat para ulama yang tergabung dalam organisasi Nahdlatul Ulama di Surabaya untuk menyikapi kedatangan sekutu (termasuk di dalamnya NICA Belanda). Keputusan tersebut dikenal dengan Resolusi Jihad. Jadi 22 Oktober dipilih sebagai Hari Santri Nasional berdasarkan peran historis kaum santri melahirkan suatu keputusan yang membangkitkan semangat perlawanan untuk mempertahankan Kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang baru berumur 2 bulan.  

Dalam teks "Resolusi Jihad" itu terdapat dua poin keputusan. Pertama, tuntutan kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk bersikap tegas menentukan tindakan yang nyata dan sepadan dalam menghadapi kedatangan NICA Belanda yang membonceng sekutu, yang dianggap membahayakan kemerdekaan negara dan agama.  Kedua, tuntutan kepada pemerintah untuk memerintahkan kepada umat untuk melanjutkan perjuangan bersifat "sabilillah" untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.

Yang menarik dari teks "Resolusi Jihad" adalah disebutkannya kata Kemerdekaan, Negara, dan Agama, menjadi satu kesatuan tuntutan. Membela kemerdekaan Negara juga merupakan kewajiban agama bagi umat Islam. Ini  terlihat dari konsiderans Menimbang huruf a : "Bahwa oentoek mempertahankan dan menegakkan Negara Repoeblik Indonesia menurut hoekoem Agama Islam, termasoek sebagai satoe kewadjiban bagi tiap2 orang Islam".

Resolusi Jihad inilah yang mengilhami pecahnya peristiwa 10 November 1945 yang kemudian dijadikan sebagai Hari Pahlawan. Jadi, 22 Oktober -- 10 November 1945 merupakan satu rangkaian peristiwa perjuangan yang didorong kekuatan sentimen keagamaan. Kata "sabilillah" (berjuang di jalan Allah) adalah idiom keagamaan (Islam). Begitu pun dengan kata "Jihad".

Secara etimologis istilah jihad berakar  pada kata al-juhd (al-Thqoh: kemampuan dan kekuatan)  atau al-jahd (al-mashaqqoh: kesulitan dan kelelahan). Jihad merupakan isim masdar dari kata kerja jaahada -- yujaahidu yang berarti mencurahkan segala kemampuan untuk bekerja dalam menegakkan kebenaran yang diyakini berasal dari Tuhan. 

Dalam jihad, ada upaya yang sungguh-sungguh (optimal) mendayagunakan kemampuan yang dimiliki untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Menurut Quraish Shihab, jihad itu merupakan cara untuk mencapai tujuan, dengan tidak mengenal putus asa, menyerah, kelesuan, dan tidak pamrih. Jadi, dalam konteks "Resolusi Jihad", jihad digunakan sebagai cara untuk mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia.

Dalam teks resolusi yang tandatangani oleh Hadrotussyaikh KH. Hasyim Asy'ari selaku Rois Akbar NU (Nahdlatul Ulama) pada 22 Oktober 1945, istilah jihad memang tidak dicantumkan. Akan tetapi, resolusi yang (dalam teks) berjudul: Resoloesi wakil-wakil daerah Nahdlatoel Oelama Seloeroeh Djawa-Madoera, itu dalam penyampaian lisan disebut sebagai resolusi jihad. Ini mengacu pada interpretasi isi keputusan resolusi, terutama poin ke-2: Seoapaja memerintahkan melandjoetkan perdjoeangan bersifat "sabilillah" oentoek tegaknja Negara Repoeblik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.

Pada fase revolusi fisik 1945-1949, Resolusi Jihad dapat dibaca sebagai sentimen keagamaan untuk membangkitkan perlawanan terhadap kaum penjajah (tentara Sekutu dan Belanda) untuk mempertahankan Kemerdekaan Negara  Republik Indonesia. 

Secara etimologis, kata sentimen berasal dari kata Latin sentire dan sentimentum yang berarti perasaan (feeling), afeksi (affection), dan pendapat (opinion). Sentimen keagamaan berarti upaya membangkitkan perasaan, pemahaman, dan penghayatan seseorang terhadap ajaran agamanya. 

Konteks Resolusi Jihad menunjukkan sisi positif---yang merupakan jatidiri---dari sentimen keagamaan. Sentimen keagamaan berperan sangat besar dalam meraih dan  mempertahankan Kemerdekaan Negara Republik Indonesia pada masa-masa awal pasca proklamasi kemerdekaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun