Setahun setelah menikah, aku dan suami berencana untuk membeli rumah idaman. Alasannya, bosan mengontrak. Apalagi harga kontrakan naik setiap tahun. Ditambah lagi, kami sudah kena banjir tiga kali saat banjir besar melanda Jakarta, tetapi kami malas pindah kontrakan dan angkut-angkut barang. Rumah yang kami idamkan, standar saja. Cukup dua kamar tidur, satu kamar mandi, ada ruang tamu, ruang tengah, teras ya sekitar lebar dua meter, juga dapur. Lokasinya strategis, dekat dengan jalur transportasi. Secara kemampuan, kami tak punya cukup uang. Duit di tabungan hanya ada beberapa juta saja. Tak kehilangan akal, kami pun memutuskan untuk meminjam kredit tanpa agunan ke sebuah bank pemerintah. Setelah proses kredit disetujui dan uang sudah masuk ke rekening, perburuan untuk mencari rumah pun dimulai. Aku mulai bertanya-tanya ke teman-temanku yang sudah punya rumah duluan. Bagaimana mereka mencarinya? Kira-kira butuh waktu berapa lama? Ya, tentu saja kalau uang kami banyak, mungkin tak butuh waktu lama untuk mendapatkan rumah. Masalahnya, budget kami terbatas. Berbekal koran yang setiap hari aku pinjam dari teman kerja sebelah meja, aku mulai rajin membaca iklan-iklan rumah di jual. Tentu saja, karena budget terbatas, rumah yang dicari kami utamakan yang di perkampungan alias di luar komplek perumahan. Wow,...ternyata harganya mahal-mahal, jauh diatas budget. Ya iyalah mahal, orang yang kamu lihat iklan di kompas, begitu komentar temanku. Aku hanya senyum-senyum saja, maklum belum pengalaman. Saran temanku, bacalah koran Pos Kota, terutama edisi sabtu-minggu. Di situ, banyak sekali iklan rumah di jual. Akhirnya, setiap sabtu-minggu aku dan suamiku rajin memelototi iklan baris rumah di jual di Pos Kota. Setiap menemukan rumah yang murah, dan lokasinya masih sekitar Jakarta Selatan, aku dan suami dengan semangat empat lima segera menelepon ke nomor telepon pada rumah yang diiklankan. Rumah yang kira-kira memenuhi syarat idaman kami, kami tulis pada buku kecil. Alamat, nomor telepon dan perkiraan lokasi sesuai pembicaraan telepon. Setelah menelpon ke beberapa rumah yang diiklankan, dan catatan telah siap, biasanya minggu pagi-pagi, kami mulai berburu. Pengalaman-pengalaman seru kami dapatkan. Pencarian pertama, sebuah rumah di dekat Pasar Minggu, arah Ragunan. Setelah di jalan beberapa kali menelpon karena salah jalan, kami hampir menemukan alamat yang dicari. Ya Ampun, kok jauh banget dari jalan utama, jalan memutar-mutar, ke kiri, kanan, kanan, kiri. Tanya sama orang yang lagi duduk depan rumah. Rumah nomor 10A yang mana pak? Oh, itu, ke kanan dikit, lewat jalan kecil. Duh,..sudah malas melanjutkan, tapi telanjur. Ternyata, rumah itu menghadap ke samping jalan raya. Depan rumah sudah tembok orang. Teras rumah sempit dengan lebar sekitar satu meter. Tak ada cahaya matahari. Rumah itu pun kami coret dari daftar. Pencarian selanjutnya, sebuah rumah yang katanya dekat jalan TB. Simatupang. Setelah menelpon, kami mendapat arahan. Motor kami lajukan sampai dekat kantor pajak Pasar Minggu. Ada jalan sebelum kantor, ke belakang, ke kanan, duh aku tidak hafal. Urusan jalan, aku serahkan ke suami. Setelah masuk cukup jauh, ketemu rumah yang kami cari. Rumahnya sesuai dengan idaman kami. Tapi, ternyata sebelah rumah adalah warnet dan banyak sekali anak-anak punk yang nongkrong di situ. Hm,..kami coret lagi. Rumah ketiga. Sebuah rumah di daerah Ciganjur apa Jagakarsa ya? Pokoknya, melewati jalan depan rumah sakit Zahirah, terus ke belakang. Hatiku langsung sreg melihat rumah tersebut. Kecil, sesuai standar kami. Baru selesai dibangun, masih tahap finishing. Saat itu, hujan yang tak begitu deras turun. Kami pun menanti hujan reda sambil mengobrol dengan pemilik rumah. Setelah hujan reda kami pulang, dan kalo cocok, akan kembali lagi. Olala, ternyata jalan menuju rumah baru yang tadi kami lalui, telah penuh dengan air. Aku sudah takut saja kalau daerah itu daerah banjir. Pencarian hari itu pun kami cukupkan.Rumah itu pun kami coret dari daftar. Hari-hari selanjutnya tetap sama, mencari iklan, menghubungi, mencatat pada buku kecil.Kadang, teman-temanku ikut membantu perburuan ini. Saat jalan dan menemukan ada iklan rumah murah yang kebetulan mereka lihat, mereka beritahukan padaku.Teman-temanku yang tinggal di Depok pun ikut menyemangatiku, dan membantu mencari rumah sekitar Depok. Entah untuk pencarian yang ke berapa. Aku sudah lupa. beberapa unit rumah siap bangun di Pasar Minggu. Untuk ukuran komplek, ini terhitung murah, pikir kami. Dengan bersemangat, kami menuju sebuah rumah di jalan raya Pasar Minggu, arah Tanjung Barat. Sebelum pintu rel Poltangan. Oh, rupanya sebuah kantor pemasaran. Kami bertemu langsung dengan pemilik. Setelah membahas mengenai rumah, melihat gambar desainnya, selanjutnya kami bertiga menuju lokasi tanah. Jalannya lebar, bisa masuk mobil, lokasi tak begitu jauh dari jalan raya. Nah, mataku melihat deretan nisan yang terletak tak begitu jauh persis di belakang lokasi yang akan dibangun rumah. "Ih, deket kuburan Mas" kataku pada suamiku "Iya sih Bu. Tapi kuburan di kota 'kan tidak seram seperti di desa" kata pemilik tanah menanggapi perkataanku. Kembali kucoret daftar rumah pada buku kecil. Perburuan berikutnya daerah Depok, sekitar Kembang Beji. Lagi-lagi gagal. Kali ini, karena tidak sesuai dengan budget kami, alias ketinggian. Pemilik rumah tetap keukeuh tak mau menurunkan harga rumah sedikit pun. Ya sudahlah. Lagi tidak BU (butuh uang). Beberapa lama memutuskan berhenti berburu rumah.Capek. Lagi pula, aku sedang hamil muda. Sementara suami tak mau mencari sendiri, dengan alasan, soal rumah akulah yang menentukan pilihan cocok tidaknya. Rasanya susah menemukan rumah yang sesuai dengan budget kami dan seperti harapan kami. Suatu sore suami mendapat telepon dari Pak Robby, orang yang dulu rumahnya pernah kami lihat. Beliau memberikan informasi bahwa ada rumah yang sesuai budget kami di belakang kampus UI. Suami pun menjawab, kalau tidak sesuai budget kami, tawarkan ke orang lain saja pak. (Haduh, harus memberi fee ke calo nih). Tetapi, Pak Robby membujuk, agar kami melihat dulu, siapa tahu ada yang cocok. Tenang saja, pak. Nanti kalau deal, saya dapat feenya dari yang punya rumah kok. Ada tiga rumah di lokasi yang berdekatan, terang pak Robby yang membuat semangat kami berburu rumah kembali bangkit. Siang menjelang sore, dengan perut besar aku nekat ikut suami ke Depok dengan naik krl ekonomi. Zaman itu, belum ada AC Ekonomi, apalagi Commuter Line. Yang ada hanya krl Ekspress yang berhenti di stasiun tertentu, dan krl ekonomi yang berhenti di tiap stasiun. Mungkin karena hari libur, jadi kereta agak lengang dan aku mendapatkan tempat duduk. Sebenarnya lebih senang naik motor, tapi apadaya motor sedang di pinjam sepupu suami menjemput saudaranya di Kelapa Gading. Turun kereta, kami janjian ketemu pak Robby di pintu perlintasan kereta. Tak lama beliau muncul. Pak Robby memboncengku, sedangkan suami naik ojek. Motor berjalan pelan, di samping karena membawaku yang hamil besar, juga saat itu masih pengerjaan Fly over Arif Rahman Hakim sehingga kendaraan yang melintas tidak dapat mengebut karena banyak kendaraan proyek dan material bangunan di sepanjang jalan. Tibalah kami di lokasi rumah. Rumah pertama, lokasi belakang masjid. Masih benar-benar bangunan baru. Harganya sepuluh juta lebih tinggi dari budget kami. Selain itu, depan dan samping rumah itu masih tanah kosong. Tetangga rumah adalah kontrakan dengan beberapa gerobak pedagang. Takut saja kalau nanti bayiku hanya tinggal sama pengasuh, sedangkan tetangga pada pergi dagang. Kalau ada apa-apa bagaimana? Rumah kedua, adalah rumah di komplek kecil sebelah masjid. Bagus sih, tapi harganya tak terjangkau. Bisa KPR, tapi sayangnya aku baru berutang ke bank, jadi pasti permohonan KPR bakal ditolak. Rumah ketiga adalah rumah yang masih di sekitar masjid juga. Berpagar setengah meter, bercat coklat muda. Dadaku langsung berdesir begitu melihat dan menapakkan kakiku di terasnya. Rasanya seperti melihat orang ganteng saja. Ha ha ha. Kok aku merasa cocok dan suka ya? Kami pun masuk dan melihat ruangan rumah. Pemiliknya, Pak Franky dengan ramah menunjukkan ruangan-ruangan pada kami. Karena merasa cocok, kami pun memberanikan diri bertanya berapa harganya. Oh, rupanya masih lebih tinggi dari budget kami. Kami meminta agar harganya bisa diturunkan. Kami pun pulang dengan membawa harapan. Semoga harganya bisa turun. Dua hari kemudian, suami mendapat telepon dari pak Franky tentang kelanjutan pembelian rumah. Harganya bisa turun, tapi tak banyak, jelas suamiku lewat hape. Okelah, kalau harganya sesuai yang pak Franky mau, kita minta beres saja mas. Dalam arti, pajak, BPHTB, notaris, ditanggung penjual. Alhamdulillah, pak Franky setuju. Pada hari yang sudah ditentukan, aku izin kantor untuk tak masuk kerja. Dengan naik motor kami menyusuri jalanan menuju Depok. Entah karena perasaan senang, rasanya jarak Jakarta-Depok menjadi dekat saja. Ketemu pak Franky, kami langsung menuju notaris yang sudah dipilih. Setelah tanda tangan ini itu, kami pun pulang. Hanya dalam hitungan hari rumah itu telah menjadi milik kami. Alhamdulillah. Benar-benar saat yang tepat yang Allah berikan. Rumah itu kami dapatkan tepat seminggu sebelum kontrakan rumah habis masanya. Sebuah perburuan yang berakhir indah. Dan rumah kecil ini terasa begitu luas ketika cicilan utangku lunas akhir tahun 2010 kemarin. Buat semuanya yang sedang berburu rumah, tetap semangat, jangan menyerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H