Seorang sahabat saya, sebut saja namanya Indri, tampak murung akhir-akhir ini. Tentu saja ini mengundang rasa penasaran saya untuk menanyainya. Lalu, disaat kami pulang bersama, mengalirlah cerita pahit dari bibirnya.
Indri ternyata selama ini telah menyimpan beban yang amat menyiksanya. Penyebabnya, karena orang tuanya selalu meminta jatah kiriman uang bulanan. Indri bingung, jika ini terus-terusan terjadi, bagaimana dia bisa menabung untuk masa depan kedua buah hatinya yang masih kecil. Meskipun gajinya lumayanlah besarnya, tetapi karena tinggal di Jakarta dengan biaya hidup yang tinggi, apa-apa mesti beli, jika dia tak pandai-pandai mengelola uang, maka setiap akhir bulan, penghasilannya selalu habis. Orang tuanya selalu menanamkan prinsip bahwa anak wajib membalas jasa orang tua, dan salah satu caranya adalah dengan memberikan uang hasil jerih payah ketika anak yang sudah dibesarkan, disekolahkan, dan dicukupi segala kebutuhannya itu bekerja. Memang, menurut Indri, keluarganya keluarga biasa saja, dalam arti cukup. Keluarga petani, yang juga memiliki sawah meski tidak luas, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Sebenarnya, ada hal lain yang membuat Indri kadang kurang ikhlas mengirimkan uang untuk keluarganya. Dia selalu ingat perlakuan orang tuanya ketika dia kecil yang sering mencemooh, menghina, dan tak jarang memukulnya saat dia berbuat kesalahan walaupun kecil. Semua yang dilakukannya dianggap salah sama orang tuanya. Orang tuanya tak pernah bersikap manis padanya, meskipun dia selalu berprestasi dari SD sampai SMU dan selalu mendapatkan beasiswa. Sejak Indri bekerja dan selalu mengirimkan uang, bapaknya yang masih dibawah lima puluh tahun, masih sehat, belum tua renta, menjadi kurang semangat bekerja. Kalau ke sawah menjadi cepat pulang, lalu menyetel televisi dan tidur. Terus sore hari ke sawahnya menjelang sore, hanya sebentar. Uang yang dikirimkan tiap bulan selalu habis, tidak dibelikan barang yang sekiranya bisa dijual nanti-nanti. Indri merasa benar-benar jadi tulang punggung, menjadi andalan keluarga. Kadang jika ada tetangga yang bertanya ke bapaknya, kok tampaknya sanati-santai, tenteram saja hidupnya, tanpa canggung bapaknya menjawab, "iya dong, kan sudah ada yang menjamin (memberi uang)". Kalau untuk membiayai sekolah adiknya yang masih SMU, dia sih rela saja, tetapi seringnya uang itu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang lain. Padahal, menurut teman Indri yang lain, yang masih satu kampung dengannya, sebut saja Nani. Apabila Nani kirim uang ke orang tuanya, maka oleh orang tua Nani, uang itu dibelikan kambing atau perhiasan. Nani juga dari keluarga biasa, tetapi orang tua Nani berprinsip bahwa, orang tua itu sudah sangat bahagia, ketika anaknya sudah bekerja, mandiri, dan tidak membebani orang tua. Sebab, banyak teman-teman Nani di kampung yang masih saja menjadi beban orang tua. Tidak bekerja, menikah, punya anak masih menumpang tinggal dan makan di rumah orang tua.
Pernah suatu waktu, ketika Indri pulang kampung, bapaknya tanpa sungkan-sungkan menunjukkan ke Indri, "lihat nih, atap rumah sudah pada bocor, kayu-kayu sudah rapuh, harus diganti nih jangan nunggu sampai roboh". Indri hanya bisa menghela napas panjang, tanpa bisa membantahnya. Dan beberapa bulan kemudian mengirimkan uang yang lumayan banyak untuk renovasi rumahnya, padahal sebagian uang itu berasal dari pinjaman kantor.
Indri mulai mengurangi jumlah kiriman sejak kelahiran anak-anaknya, juga dikarenakan adiknya sudah lulus SMU dan tidak mau kuliah (memilih bekerja). Adiknya tidak mau kuliah, padahal Indri sudah meyakinkan orang tuanya, kalau nanti akan membantu biaya kuliah dan biaya hidup adiknya. Akan tetapi, bapaknya tidak mengijinkan, karena maunya Indri yang menanggung semua biayanya, jika harus menjual barang atau sawah, sayang, katanya. Indri tentu saja tak sanggup, karena dia dan suaminya baru saja mengambil kredit rumah yang otomatis sebagian penghasilannya dipakai untuk mencicil. Kadang, Indri sengaja mengirim dua bulan sekali, agar uang yang dikirim jumlahnya lebih besar sehingga tidak terpakai habis. Namun, tanpa diketahui Ibu Indri, diam-diam bapaknya sering minta uang ke Indri lewat sms pakai hape tetangga. Alasannya, kalau ibu Indri tahu, pasti tidak diijinkan, membebani anak yang sudah punya keluarga.
Dengan mata yang berair, cerita Indri terus mengalir. Betapa orang tuanya hanya menginginkan uangnya saja, tanpa peduli padanya. Ketika dia melahirkan anak kedunya secara caesar, ibunya hanya menungguinya empat hari. Akhirnya dengan memohon-mohon dan menangis, ibunya mau bertahan sampai dua minggu, itupun setiap hari ibunya hanya melamun, seperti tidak betah tinggal bersamanya. Juga ketika anaknya sakit, dan tak ada yang menjaga, ibunya pun tak mau datang untuk sementara menjaga cucunya.
Aku hanya bisa mendengarkan ceritanya dengan seksama, membayangkan jika aku menjadi Indri, betapa tersiksanya diriku. Kutepuk bahunya, agar dia sabar menghadapi semua ini. Dalam diam, akupun berpikir, ada ya orang tua yang bersikap seperti itu kepada anaknya? Bukankah melihat anaknya mandiri, itu juga sudah membuat orang tua bahagia? Ya Allah, semoga aku ikhlas menjaga dan menyayangi anak-anakku, tidak mengharapkan pamrih atau membebani anakku suatu hari nanti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI